4| New Home

1.8K 273 21
                                    

"Sampai kapan kamu akan terus meninggalkan sholat?"

Justru pertanyaan itu yang keluar dari mulut Ilham, bukannya bagaimana keadaanku saat ini. Kalau dia masih waras, seharusnya akan bertanya 'apa kamu masih mual' atau 'butuh apa buat meredakan pusing dan mual kamu itu'. Masalahnya, Ilham memang bukan lelaki biasa. Betapa bodohnya aku yang sempat berpikir dalam subway selama perjalanan ke Sakae ini, bahwa sesampainya kami di mansion, maka Ilham akan memperlakukanku seperti seorang pasien.

Tentu aku tak berpikir dia akan memanjakanku seperti seorang suami ke istrinya, karena itu omong kosong belaka. Namun, apa hatinya tak merasa iba sama sekali, setelah melihat wajah pucat, tubuh lemas, dan kondisi mualku saat ini?

Sambil menghempaskan diri ke atas sofa ruang tamu, kutatap Ilham dengan kesal. "Kayanya aku hamil, deh."

Perkataan konyolku membuat kedua mata Ilham melebar, lalu sejurus kemudian dia tertawa mengejek. Kemudian dia melepas jaket, menggantungkannya di dekat pintu masuk, dan kembali menatapku. "Ini udah masuk waktu ashar, jadi kamu bisa men-jama' qashar waktu zuhur dan--"

"Ham!" Ah, sumpah! Rasanya ingin kucekik saja leher lelaki ini. "Aku lagi sakit, enggak enak badan. Jadi, please ya, enggak usah ceramah dulu dan rawat aku dengan baik. Oke?"

Ilham mengembuskan napas dengan agak kasar. "Sila, kamu itu cuma mabuk perjalanan. Apalagi sebelum berangkat ke Jepang kamu begadang nonton drakor sambil ngopi tiga cangkir. Jadi, enggak usah manja."

"Emang salah kalau aku manja sama kamu? Bukannya kamu suamiku? Atau kamu udah amnesia? Kehilangan ingatan kalau pernah janji di depan Papi, saksi, dan Tuhan kalau kamu--"

"Oke, cukup!" Ilham berjalan dengan langkah panjang ke arahku. Begitu sampai di depanku, dia menatap kedua mataku dengan tajam. "Mau kamu apa sekarang? Dibuatkan minuman hangat? Dipesankan sup? Dipijatin? Atau--"

"Basi," sahutku cepat, lalu berdiri sambil mendorong tubuh Ilham. Aku berjalan menuju ransel cokelat di lantai, mengambil dan mencangklongnya, lalu kembali menatap Ilham. "Malam ini aku mau tidur sendiri. Jadi terserah mau kamu ngapain, lembur kek, nonton tivi kek, jungkir balik kek. Enggak usah samperin aku di kamar."

Lalu, aku segera berbalik dan berjalan menuju ke satu-satunya kamar di mansion yang aku dan Ilham sewa untuk kami tinggal selama di Sakae ini. Tiba-tiba kudengar suara Ilham, sebelum aku sampai di depan pintu kamar. "Aku udah ngingetin tentang masalah sholat."

"Bodo amat!" sahutku tanpa menatap Ilham, dan sambil mengacungkan jari tengah padanya, sebelum masuk ke dalam kamar.

"Emang sialan si Ilham!" Kulempar ransel ke lantai, lalu segera kuhempaskan tubuh ini ke atas kasur. Kutatap langit-langit kamar. Suasana yang sungguh berbeda dari rumahku di Malang sana.

Pada akhirnya, aku mengambil keputusan untuk menyewakan rumahku dan untunglah Pak Junaidi, tukang kebun kepercayaanku itu, mau membantu mengurusnya. Sehingga aku tinggal menerima laporan dari Pak Junaidi dan transferan uang sewa bersih langsung dari penyewa yang kebetulan adalah kenalan Ilham. Katanya, sih, mereka pernah satu proyek penelitian dalam bidang Pertanian yang lokasinya berada di Wagir.

Ya, Ilham memang seorang Sarjana Pertanian, dan akan mengambil kuliah S-2 di bidang yang sama. Aku pernah memaksanya menunjukkan ijazah S-1 miliknya, dan langsung kagum karena IPK dia ternyata cumlaude, yaitu 3,85. Meski rasanya malu juga, sih, mengingat aku dulu kuliah hanya seperti main-main saja, dan hanya puas lulus dengan IPK 2,4.

Kualihkan tatapan mataku ke jendela kaca yang masih belum tertutup gorden. Suasana senja pada hari pertamaku berada di Jepang. Sebelumnya, mungkin sekitar lima atau enam tahun lalu, dan juga sepuluh atau sebelas tahun lalu, aku pernah ke Jepang. Namun, saat itu kota yang kukunjungi adalah Tokyo, Osaka, dan Chiba. Jadi, otomatis ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di Nagoya.

The Last Autumn [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang