16| Hurt

1.4K 222 21
                                    

Kami memang sengaja berangkat setelah makan malam dan menjalankan salat Isya. Sebelum berangkat tadi, Ilham sempat bertanya padaku, "Enggak mau dipakai itu jilbabnya?"

Sambil mengalihkan tatapan mata darinya dan menggaruk pipi sendiri, aku menjawab, "Anu, masih malu."

"Malu gimana?" Ilham mengerutkan keningnya.

"Ya intinya, kalau untuk ditampilin di depan publik masih ngerasa belum pantas aja, Ham."

Ilham tak lantas menjawab, tetapi beberapa saat kemudian dia mengangguk paham. Setelah tersenyum lembut dia berkata, "Semoga Allah mudahkan ikhtiarmu menuju kebaikan ya, Sil. Aku selalu support kamu, tapi enggak pengen maksa juga. Senyaman kamu."

Tentu saja kedua pipiku langsung terasa memanas. Rasanya seperti didekap oleh kehangatan yang membuatku seakan terbang ke angkasa. Dan sampai detik ini aku terus bertanya-tanya, sebenarnya apa alasan Ilham melakukan banyak hal baik, lembut, dan penuh perhatian seperti itu kepadaku, padahal sebentar lagi dia akan menceraikanku?

Rasanya sedikit tak adil. Meski akhirnya aku kembali berpikir bahwa bisa jadi alasan Ilham sama sepertiku, yaitu ingin memberikan kesan baik, dan menorehkan banyak kenangan indah di akhir pernikahan kami yang hampa ini.

"Alhamdulillah harganya pas. Jadi enggak perlu tambahin pakai uangmu, Sil. Mana bisa nambah beli sandal couple diskonan musim panas tahun ini." Ilham tersenyum puas sambil mengamati winter outer miliknya, berwarna krem, yang ada di dalam kantung belanjaan. Kami tengah berjalan beriringan menuju ujung Osu Street.

"Kalau gitu kita jalan-jalan, aku yang traktir."

Ilham menatapku tak percaya, sampai menghentikan langkahnya, dan membuatku ikut berhenti berjalan. "Kamu enggak capek?" tanyanya.

Aku menggeleng. Meski lelah pun, tetap ingin sedikit memaksakan diri selama beberapa waktu ke depan untuk memaksimalkan kencan bersama Ilham, karena aku tak tahu kapan lagi bisa mendapat kesempatan langka seperti ini. Bisa jadi malah tak akan pernah lagi terulang, bukan?

"Serius?" Ilham masih tak percaya, terlihat khawatir juga.

"Enggak, Ham. Aku pengen banget jalan-jalan di akhir musim gugur. Kan mumpung kamu bisa, ada waktu luang juga." Kupamerkan senyum senormal mungkin, agar Ilham percaya bahwa aku benar-benar tidak dalam kondisi lelah atau sejenisnya.

Akhirnya dia menghela napas dan mengangguk setuju. "Mau ke mana abis ini?" tanyanya sambil meminta kantung belanjaanku, hendak dibawakannya.

Aku berpikir sejenak, lalu mengusulkan tempat yang selama ini ingin kudatangi karena penasaran. "Sunshine Sakae gimana? Aku pengen naik Sky Boat, atau nanti nyobain mampir ke teaternya SKE48."

Ilham tertawa kecil. "Sebenarnya kapan hari sebelum kamu kecelakaan, aku pengen ajak kamu ke sana. Soalnya aku pernah denger kamu muter lagu AKB48, pasti bakal seneng kalau ke Sunshine."

Senyumku pudar saat Ilham mengatakan itu. Rasa kecewa, sedih, dan merasa sangat bersalah tiba-tiba merayap dalam diriku. Ya, andai saja aku tak bertingkah liar dengan sok-sokan mencari pelarian ke Dereck kala itu, atau menuntut ini itu ke Ilham, pasti suamiku tersebut sudah mengajakku ke Sunshine. Dan bisa jadi hubungan pernikahan kami makin hari akan lebih manis, serta tak akan pernah ada perpisahan nantinya.

Kuhela napas pelan, lalu mengangguk dan kembali mengikuti langkah Ilham. Jadi, dia tahu detail kecil tentangku yang memang lumayan suka lagu-lagu AKB48? Rasanya malu sendiri. Aku yang berkali-kali merasa mendapat ketidakadilan karena seolah Ilham tak peduli padaku dan pernikahan kami, justru sampai sekarang tak tahu apa makanan kesukaan dia. Karena selama ini kupikir Ilham menyukai semua makanan, asal halal.

The Last Autumn [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang