7| Lose Control

1.7K 250 56
                                    

Setelah puas menikmati taman di bawah Nagoya TV Tower, aku berjalan dengan santai menyusuri pinggir jalan. Suasana Sakae yang padat seperti ini, nyatanya mampu mengusir rasa penat karena selama hampir seminggu aku dan Ilham dalam kondisi perang dingin. Memang beberapa kali di awal-awal dia seperti berusaha mencari celah untuk mengajakku bicara, tetapi aku yang selalu menunjukkan sikap dingin serta tak pernah mau bertatapan mata dengannya, mungkin membuat Ilham lama-lama lelah. Pada akhirnya dia juga ikut diam, dan fix, kami seperti dua manusia dewasa asing yang kebetulan tinggal di bawah satu atap.

Begitu juga dengan masalah tidur. Sejak perang dingin, Ilham tak lagi tidur di kamar, seranjang denganku. Dia kembali ke habitat asalnya, yaitu sofa di ruang tamu mansion kami. Seolah tak memiliki rasa bersalah, atau memiliki kewajiban menjelaskan kenapa hari itu  sampai membuatku harus menunggu dan tersulut emosi, dia menjalani keseharian dengan santai.

Ilham tetap memasak sarapan untuk kami, pulang dari kampus menjelang pukul lima sore, dan setelah salat Magrib akan kembali tenggelam dengan pekerjaannya serta Alquran.

Aku muak. Sangat kesal, tentu saja. Namun, entah kenapa daripada marah-marah, memaki, atau mengancamnya, aku justru membiarkan sesuka Ilham saja mau melakukan apa. Karena aku juga ingin melakukan keinginanku sendiri. Termasuk akhirnya memberanikan diri keluar mansion dan menikmati Sakae sepuas-puasnya.

Aku tak peduli lagi, meskipun ingat akan nasihat Ilham untuk memilih resto atau penjual makanan yang ramah Muslim alias halal food. Sehingga dengan santainya saat akan duduk di taman, aku membeli sekaleng bir. Meneguknya dengan tanpa beban sambil menatap langit Sakae yang cerah, bahkan meski ada sedikit rasa takut pada Tuhan, nyatanya aku tak menghentikan diri untuk menghabiskan seluruh isi kaleng itu.

Tak terasa langkahku sudah mendekati Bulan Bali, sebuah restoran masakan Indonesia yang sangat terkenal di Sakae ini. Aku pernah mengunjungi Kanagawa sekitar lima tahun lalu, dan bertemu dengan teman masa SD-ku bernama Sheva. Saat itu dia bercerita tentang pengalamannya yang pernah tinggal di Sakae selama lima bulan, dan ada restoran enak bernama Bulan Bali. Tak kusangka, sekarang aku sudah berdiri di depan tempat yang pernah diceritakan Sheva itu.

Restoran ini dari depan terlihat sangat sederhana. Tertulis Bulan Bali Cafe and Dining. Pun dengan suasana di dalam, mirip dengan kafe di Indonesia. Ada meja dengan kursi-kursi makan kayu, kemudian interior yang dibuat mirip seperti suasana kafe di Bali. Aku tersenyum tipis saat ada sedikit rasa rindu pada Indonesia yang mendadak hadir dalam hatiku.

Kemudian, aku memesan jus alpukat dan sate campur. Entah kenapa, meski ada menu nasi goreng di sini, tetapi aku tak tertarik. Tiap pagi Ilham memasak nasi goreng, entah karena dia tahu bahwa aku menyukai makanan itu, atau karena dia tak mau ribet. Sehingga lama-lama membuatku agak sedikit aneh jika memakan nasi goreng, tetapi bukan buatan Ilham. Entah kenapa.

Setelah pesananku datang, segera kusedot jus alpukatnya sampai tinggal setengah gelas. Yah, lumayan mengobati bagaimana rasa jus alpukat di kedai kecil dekat indekos Hito dulu, tempat di mana aku dan dia sering makan siang dan menikmati kebersamaan kami.

"Are you Indonesian?" Pertanyaan itu membuatku urung menggigit daging kedua di tusuk pertama sateku. Seorang lelaki bule yang tengah membawa segelas bir menatapku sambil tersenyum cerah. Dia tampan.

"Yap," jawabku sekenanya.

"Boleh join?"

Hei? Dia bisa bahasa Indonesia? Pada akhirnya aku tertarik juga dan menatapnya dengan antusias. "Kamu bisa ngomong bahasa Indonesia?"

"I used to live in Jakarta. Yah, mungkin sekitar sepuluh, oh no, hanya sembilan tahun."

"Really?" Aku makin antusias, sampai tak sadar meletakkan lagi sateku di atas piring.

The Last Autumn [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang