10| Tired

1.3K 218 51
                                    

"Oke. Akan aku pertimbangkan tentang perceraian. Karena sepertinya kita emang enggak cocok satu sama lain. Daripada kita makin lama makin tersiksa."

▪︎
▪︎

~ Tentang lelaki dan ambang batas kesabarannya ~

===

Mungkin Tuhan memang sudah muak padaku, sehingga semua keinginanku tak ada yang berjalan dengan lancar. Bisa jadi karena di masa lalu aku sering melakukan dosa dan bahkan mengingkari kuasaNya. Ya,bisa jadi demikian.

Bagaimana tidak? Baru beberapa minggu aku merasakan manisnya kebersamaan dengan Ilham, tiba-tiba saja pahit kembali hadir dan meracuni semuanya. Merenggut satu per satu harapan dan mimpiku untuk bisa terus bersama Ilham sampai ajal menjemput kelak.

Hari ini adalah hari sial di mana Ilham yang mulai disibukkan dengan berbagai tugas dan ujian, pulang di waktu yang cukup larut, yaitu pukul sebelas malam. Karena dia tak merespons pesan dan tak mengangkat teleponku sama sekali, tentu saja aku khawatir. Sangat khawatir!

Perasaan lega dalam hatiku saat Ilham sampai di rumah dengan selamat, tiba-tiba secara misterius berganti menjadi amarah buta karena suamiku itu memilih langsung merebahkan tubuhnya di sofa--bukan di kasur kami. Seolah sofa ruang tamu jauh lebih nyaman dibandingkan kasur yang selalu kami berdua tempati tiap malamnya.

Entah kenapa aku kesal, saat Ilham seolah mengacuhkan rasa khawatirku dan justru langsung merebahkan diri setelah mengucap salam begitu masuk ke dalam rumah. Padahal aku seharian menunggunya. Tidak, selama tiga harian aku harus bersabar dengan kesibukannya yang menggila sampai dia tidak pernah lagi tidur di kamar, melainkan ketiduran di sofa ruang tamu.

Dengan kalap aku memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan kurang ajar. Mulai dari apakah dia berkencan dengan perempuan lain, sengaja menghindariku karena mulai muak, sampai apakah dia tengah mencari cara untuk membuatku lama-lama lelah dan pergi darinya. Dan secara misterius pula, rasa iba dalam diriku saat menatap wajah lelah Ilham, menjadi rasa kesal karena kupikir wajah lelahnya itu sangat menyebalkan.

Kukira Ilham hanya akan mengeluarkan kata-kata seperti "jangan ganggu aku" dengan nada sarkasnya. Namun, dugaanku meleset. Dia langsung mengubah posisi berbaring menjadi duduk, dan menatapku sengit sambil balas membentak, "Sampai kapan kamu akan terus bersikap kurang ajar sama aku, Sil? Apa kurang perhatianku padamu? Meski aku kesulitan, sebisa mungkin aku berusaha merendahkan gengsi dengan mendekatimu terlebih dulu. Aku mengikuti semua kemauanmu biar enggak ada konflik di antara kita. Tapi, apa balasanmu? Tiap kali aku melakukan kesalahan sedikit, kamu enggak mau tahu dan memperlakukanku dengan kasar!"

Aku terhuyung ke belakang karena kaget. Tak sadar tangan kananku memegang dada, dan kedua mataku melebar. Suara Ilham yang meninggi tadi benar-benar membuat jantungku seperti berhenti secara mendadak. Bahkan, tiba-tiba saja seperti ada yang menekan kuat ulu hatiku ini.

"Kamu lelah? Iya? Sama, Sil. Sama!" Rupanya Ilham belum selesai dengan cercaannya padaku. Bahkan, sekarang dia berdiri. Wajahnya menegang dan aku bisa melihat kedua tangannya mengepal kuat. Dia sepertinya benar-benar sudah dikuasai amarah. Dan entah mengapa, perasaan takut mendadak hadir menyergap diriku.

"Lama-lama aku juga bisa lelah sama pernikahan ini kalau kamu terus menuntutku begini dan begitu, padahal aku udah berusaha sekuat tenaga menyeimbangkan diri sama kamu. Tapi, kamu selalu naruh aku di posisi salah." Ilham berjalan mendekat ke arahku sambil menyibakkan poni di keningnya dengan kasar. "Aku ini suamimu, imam kamu. Kenapa kamu selalu perlakukan aku seperti seorang bawahan yang selalu melakukan kesalahan dalam pekerjaannya?" Ilham membuang napas dengan kasar sebelum melanjutkan dengan nada yang masih tinggi, "Padahal aku enggak seratus persen salah, kan? Apa kurang selama ini aku memperlakukanmu? Kenapa kamu masih nuntut ini dan itu, padahal aku ikhlas nikahin kamu--"

The Last Autumn [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang