Epilogue

3.7K 288 106
                                        

Saat membuka mata, yang pertama kudengar adalah suara tangis Afra. Kutatap Ilham yang tengah menggendong Afra sambil membaca sholawat dan ayat-ayat Alquran. Aku bersyukur, meski lahir kurang bulan, yaitu masih di usia kandungan ke-36, tetapi anakku dan Ilham yang sepakat kami namai Nayla Afra Arsyadi itu tak perlu masuk inkubator. Ilham mengatakan padaku bahwa dokter sudah melakukan observasi pada Afra, dan hasilnya anak kami sangat sehat. Justru akulah yang lemah, dan tekanan darahku cukup tinggi setelah melahirkan kemarin, yaitu mencapai 150/100.

Pada akhirnya prosedur SC terpaksa dilakukan tim dokter untuk membantu proses kelahiran Afra, karena kondisiku yang tidak memungkinkan untuk melakukan persalinan spontan. Kata dokter, aku mengalami keracunan kehamilan dan preeklampsia setelah melahirkan. Seharusnya memang aku lebih aware sejak dini, karena kondisi tekanan darah tinggi, sesak napas, pusing, dan bengkak yang tak wajar pada kaki atau tangan itu adalah beberapa gejala preeklampsia.

Setelah operasi selesai, Ilham menangis dan memelukku. Dia tak menyalahkanku karena tak mau kontrol rutin, atau kenapa aku sengaja menyembunyikan kondisi kesehatan tak wajarku di trimester akhir. Aku berusaha menjelaskan dengan terbata-bata karena sangat lemah, bahwa semua itu kulakukan untuk menjaga Ilham agar tetap fokus pada persiapan seminar proposal tesis dan penelitiannya, serta tak mau terlalu bergantung padanya hingga dia kerepotan.

Ilham tak menyalahkanku meski memang kusadari aku sangat egois melakukan hal membahayakan itu. Dia justru minta maaf berkali-kali dan mengatakan semua itu salahnya yang terlalu sibuk dan tidak peka padaku serta Afra.

Saat ini sesak di dadaku masih ada, rasanya hampir sama seperti saat sebelum melahirkan. Dan yang paling mengganggu adalah rasa pusing dan mual yang sampai membuatku tak selera makan atau bahkan minum. Kupikir dengan mendapat perawatan intensif setelah melahirkan ini, kondisiku akan segera membaik dan aku bisa segera pulang ke mansion. Sayangnya tidak. Aku merasa tubuhku makin lemah dan sangat tak nyaman.

Ini sudah hari kedua setelah aku melahirkan. Kata dokter saat visite semalam, tekanan darahku belum normal lagi, masih tinggi. Kadar Hemoglobin-ku saat melahirkan pun hanya 9. Belum lagi ketuban yang merembes keluar ternyata sangat banyak, meski untungnya Afra tak memiliki komplikasi apa pun.

"Ada yang kangen Mama, nih." Ilham berjalan ke arahku bersama Afra yang sudah tak menangis di gendongannya. Aku tersenyum menyambut kedatangan mereka berdua.

Kemudian Ilham meletakkan Afra di sebelah kananku. Dia lalu membantuku mengatur posisi untuk menyusui Afra. Kondisi tubuhku yang masih sangat lemah membuatku tak kuat untuk mengubah posisi berbaring ke duduk.  Bahkan aku membutuhkan kateter untuk membantu buang air kecil.

Sambil menyusui Afra dengan ASI milikku yang belum seberapa banyak keluarnya, aku menatap Ilham yang juga tengah menatapku sambil duduk di dekat kasur tempatku berbaring ini. "Aku capek ... tidur terus, Pa," kataku pelan, sekuat tenaga, dan agak terbata.

Ilham tersenyum. "Sabar, Ma. Insya Allah bentar lagi Mama bisa lari-lari dengan lincah kalau udah sehat."

"Tapi ... ini udah dua hari. Bukannya makin sembuh, malah rasanya ... makin lemah. Sesak di dada juga masih ada. Malah makin kuat rasanya." Kutelan ludah dengan sekuat tenaga, untuk mengusir rasa mual yang tiba-tiba datang makin kuat padaku.

"Padahal aku pengen liburan musim panas, liat Festival Musim Gugur ... jalan-jalan di tengah salju sama Papa dan Afra ... naik haji dan menjalankan umroh. Aku pengen ... bertemu musim gugur lagi ...." Kata-kataku terhenti, karena rasa mualku makin parah, seperti mencekik leher dan mendesak ke dada, membuatku makin sesak.

"Ma?" Ilham menatapku cemas.

Astaghfirullah, kenapa ini? Kenapa pandanganku menjadi buram? Ya Allah, sesak sekali dadaku. Rasanya seluruh isi perutku hendak keluar semua.

"Mama?" Ilham berdiri, dengan sigap membawa Afra, menggendongnya sambil terus memanggilku. "Mama? Mama? Kamu kenapa?"

Pandanganku makin buram. Kepalaku terasa berat dan dadaku makin sesak. Aku ingin menjawab pertanyaan Ilham, ingin  mengatakan padanya tentang kondisiku yang saat ini tak baik-baik saja. Seluruh badanku perlahan jadi melemah, tak lagi bisa digerakkan. Namun, aku hanya bisa menatap Ilham sambil mengucurkan air mata.

"Astaghfirullah!" Suara Ilham terdengar sangat panik.

Dalam penglihatanku yang terus mengabur, Ilham meletakkan Afra ke boks bayi, lalu kudengar suara bel di dekat kasurku. Pasti Ilham yang membunyikannya untuk memanggil petugas jaga. Kemudian aku merasakan Ilham meraih tanganku dan menggenggamnya kuat. Dia terus memanggil-manggil namaku.

Aku tak lagi bisa melihat jelas bagaimana ekspresi suamiku itu. Namun, dengan mendengar caranya memanggilku, aku tahu bahwa saat ini dia pasti sedang dalam kondisi sangat panik. Suaranya terdengar parau sekaligus bergetar.

"Sila! Sila, sadar, Sila! Astaghfirullah, Sila! Sayang ...." Aku bisa merasakan keningnya menempel di keningku.

Kukerahkan seluruh tenaga untuk terus menghirup oksigen, sambil dalam hati tak berhenti mengucap istighfar. Ya Allah, kenapa untuk mengeluarkan suara saja sulit sekali?

"Sila!" Suara Ilham kembali terdengar di telingaku, lebih dekat dari sebelumnya, dan bercampur dengan isak tangis.

Langkah kaki beberapa orang datang mendekat padaku. Entah apa yang kemudian dilakukan oleh mereka, aku tak begitu bisa mencerna kondisi yang terjadi, karena fokusku hanya tertuju pada suara Ilham.

Makin lama tubuhku makin lemah. Dadaku yang sesak rasa-rasanya sudah tak mampu lagi menghirup oksigen. Ya Allah, apakah ini adalah akhir waktuku? Jika iya, izinkanlah aku mengagungkan namaMu dan Rasulullah untuk terakhir kalinya.

Kumohon ....

"Sila Sayang. Insya Allah aku ikhlas, kamu kuat, luar biasa ... aku ikhlas, Sila. Aku ikhlas, Sayang ...." Suara Ilham terdengar lagi di telingaku. Sementara pandanganku sudah tak bisa berfungsi lagi. Aku tak lagi bisa melihat apa pun yang ada di sekitarku. Bahkan, wajah tampan suamiku pun ... aku tak bisa melihatnya lagi.

"Asyhadu'alla ilaha ilallaah. Wa asyhadu anna muhammadarrasulullaah ...."

Bisikkan Ilham di telingaku terdengar sangat jelas. Dia terus-menerus mengulanginya di sela-sela isak tangis. Sementara aku hanya bisa berusaha mengikutinya dalam hati. Sekuat tenaga, semaksimal yang bisa kulakukan. Sampai akhirnya aku tak mampu mendengar apa pun lagi ....

=END=

Masya Allah, terima kasih banyak atas dukungan kakak-kakak pembaca semuanya, yang udah mengikuti perjalanan rumah tangga Sila dan Ilham dari awal sampai akhir ini.
Entah kenapa, meski endingnya Sila kembali pulang ke sisi Allah, tapi menurutku ending ini bahagia. Sila udah menemukan rumahnya, kebahagiaannya, dan mendapat cinta tulus dari seseorang--yang selama ini tak pernah dia dapatkan.

Semoga bisa diambil hal-hal baik di dalamnya sebagai pelajaran dan pengingat diri, serta buang yang buruk-buruk termasuk kelakuan Sila di awal-awal pernikahan ya. Hehehe.
Dan harapan saya buat pembaca perempuan baik yang udah nikah maupun belum, saat nanti hamil, lebih aware masalah kesehatan ya. Kalau ada keluhan, segeralah periksa ke dokter.

Mohon maaf bila ada kesalahan, sampai bertemu di karya saya selanjutnya ^^

Salam sayang,

Sofi Sugito

The Last Autumn [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang