19| Emptiness

1.4K 221 21
                                    

Saat membuka mata, yang kutemukan adalah wajah cemas Ilham. Seperti dejavu saat pertama bangun dari pingsan setelah kecelakaan itu.

"Mau minum, Sil? Ini aku buatin teh." Ilham membantuku duduk.

Aku mengangguk lemah. Lalu dengan dibantu Ilham lagi, kuseruput sampai habis teh hitam buatannya itu. Rasa hangat mengaliri kerongkonganku, dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh.

"Gimana kondisimu? Perutnya enggak apa-apa?" tanya Ilham sambil melirik perutku.

Oh, apa dia mengkhawatirkan janin dalam kandunganku? Lucu sekali. Padahal tadi dia meragukan bahwa itu adalah anaknya.

Mungkin karena aku terus membisu, Ilham akhirnya bersuara lagi. "Apa ada cerita yang mau kamu bagi sama aku?"

Aku bergeming. Selama beberapa saat kami saling terdiam. Keheningan tak nyaman melingkupi kami. Ilham terlihat bingung, dan masih ada rasa bersalah tergambar di wajahnya.

"Sil," panggil Ilham memecah kesunyian. "Sekali lagi aku minta maaf. Aku salah ngomong. Bukan pertanyaan 'dengan siapa' yang harusnya kutanyakan padamu, kan? Maafkan kebodohanku, ya? Aku menyesal banget, Sil. Aku--"

"Tapi, sejujurnya sampai sekarang kamu masih beranggapan aku pernah tidur sama Dereck, kan?" Akhirnya aku bersuara.

Ilham tak menjawab, membuatku menghela napas panjang. Ternyata masih saja dia memikirkan hal buruk tentang diriku. Entah kenapa tiba-tiba saja rasa kesal dan amarah kembali datang menyerangku, tetapi sebisa mungkin kutahan untuk tak meledak di depan Ilham, dengan beristighfar sebanyak mungkin di dalam hati.

"Bukan mengira, tapi bayangan masa lalu saat memergoki Ibu pernah tidur dengan selingkuhannya, tumpang-tindih dengan kejadian yang menimpamu. Aku ketakutan sendiri karena membayangkan kamu udah tidur sama lelaki lain, Sil. Makanya aku ... astaghfirullah. Entahlah. Aku merasa makin enggak pantas menjelaskan apa pun padamu, karena ujung-ujungnya cuma seperti orang yang mencari pembenaran."

Kutatap dalam-dalam Ilham yang sudah mengubur wajahnya di dalam kedua tangan. Dia benar-benar terlihat sangat merasa bersalah. Rasa iba tiba-tiba hadir menyusup dalam hatiku. Ya, aku tahu Ilham masih memendam amarah dan kekecewaan karena pengkhianatan sang ibu. Bisa jadi itu membuatnya trauma, sehingga ketika mengetahui aku berselingkuh dengan Dereck, otomatis otaknya bekerja untuk memunculkan lagi kenangan pahit tersebut, dan membuatnya jadi meragukanku.

Meski aku sudah bisa menemukan simpul tentang kenapa Ilham masih terlihat meragukanku dan status anak kami padahal aku sudah menjelaskan berkali-kali bahkan bersumpah atas nama Allah, nyatanya hatiku tetap merasa kecewa dan marah atas sikapnya tersebut.

"Ham," panggilku. Ilham mendongak. Lho, dia menangis? Wajahnya sudah basah oleh air mata. Tentu saja aku terkejut, karena tak menyangka dia akan sangat merasa bersalah sampai menangis seperti itu. Ilham terlihat sangat tersiksa.

Kugigit bibir bawah sebelum bertanya, "Kamu yang kasih tahu nomorku ke Mami?"

Ilham terdiam selama beberapa saat. Lalu, dia mengangguk, dan dengan suara parau menjawab, "Iya, maafkan aku, Sil. Karena kata mami kamu, Papi kena masalah. Aku enggak nyangka kalau mami kamu akan langsung hubungi kamu, sementara aku awalnya mau ngasih tahu kamu dulu, kalau aku udah lancang kasih--"

"Papi yang bunuh Hito, Ham."

Kedua mata Ilham melebar. Aku mengangguk pelan. Tak ada air jatuh dari kedua mataku. Sepertinya aku sudah lelah menangis dan air mataku telah mengering. Meski dadaku masih sesak dengan kenyataan itu, tetapi aku ingin menceritakan semuanya ke Ilham.

"Hito enggak salah apa-apa. Dia cuma mau tanggung jawab sama anaknya. Makanya ngotot banget mau nikahin aku waktu itu."

"Serius, Sil?" Ilham mendekat padaku. Mata kami bertatapan. Kemudian aku mengangguk lagi.

The Last Autumn [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang