Sepuluh

5.7K 384 10
                                    

---

Sidang sudah selesai beberapa jam yang lalu. Seperti yang diharapkan jika menggunakan jasa Juari and Partners, mereka menang di persidangan.

DLS terbukti tidak bersalah. Semua bukti dan saksi menjelaskan bahwa semua sudah sesuai kontrak dan kesepekatan kerja.

Si Influencer terkenal terbukti hanya ingin membuat kericuhan. Ia harus menanggung biaya kerugian atas pencemaran nama baik yang dilakukan. DLS jadi punya kesempatan untuk membersihkan nama mereka dan klarifikasi terhadap publik.

Berita baiknya, kini nama mereka lebih dikenal dan banyak yang ingin menggunakan jasa mereka.

"Kita harus lebih selektif. Gak semua klien mendatangkan uang, gue gak mau kejadian yang sama terulang lagi,"

"Siap, Ibu!"

Sofia langsung berdecak sebal pada Leon yang kini nyengir tidak bersalah. Sedangkan Dika hanya tersenyum tipis.

"Btw, DLS puas gak sama hasil persidangan? Karena kita menjerat pake KUHP, kita gak bisa menambahkan pengaduan UU ITE-nya. Salah gue juga sih gak aware dari awal, harusnya pas gue baca kasusnya bisa kita serang pasal berlapis,"

Dika dan Sofia langsung menggelengkan kepala.

"Niat awal kita malah gak mau pidanain, Tar. Tapi pihak mereka gak mau take down dan minta maaf. Kalo untuk urusan sanksinya, gue udah puas banget. Gue cuman masih geregetan pengen dia minta maaf,"

Mendengar Sofia berapi-api, Leon beringsut untuk membisikkan sesuatu ke telingan Tari. Yang ditangkap Sofia dengan mata melotot.

"Sama nih cowok juga. Bisa gak dia dia dipidanain juga? Gue kesel banget dia gak minta maaf sama sekali,"

Tari langsung tergerak, begitu juga Dika. Sedangkan Leon langsung manyun.

"Leon udah bertanggung jawab dengan bujuk Tari bisa bantu kita, Sof. Kalo gak karna Leon kita juga gak akan mampu bayar Tari dan gak menutup kemungkinan kita kalah di persidangan,"

Sofia langsung mendengus. "Gak semua bisa dibayar dengan uang tahu."

Mendengar hal itu, Leon langsung berdiri dari duduknya. Ia bergerak cepat ke arah Sofia, berlutut di samping gadis itu dan menggenggam jemari lentik itu dengan erat.

"Sofia yang cantik rupawan, yang selalu sabar ngadepin gue dan Dika, yang gak pernah lelah jadi sahabat kita, yang tetap kuat dalam badai sekalipun..."

Jika Dika dan Tari sudah terbahak, Sofia sudah memerah di tempatnya. Mengumpat pada cowok tidak tahu diri yang kini enggan berdiri.

"...gue minta maaf ya karna udah bawa klien brengsek plus nyebelin itu cuman karna dia dapet rekomendasi dari cowok yang gue juga gak kenal-kenal banget sebenernya. Gue minta maaf dengan sangat amat tulus dari hati gue yang terdalam,"

"Berdiri gak lo?!"

"Gak mau. Lo maafin dulu,"

"Leonard. Kita diliatin orang-orang,"

"Biarin. Yang penting lo maafin gue dulu,"

Sofia menoleh pada Tari dengan frustasi. Namun yang dilakukan gadis itu malah merekam video keduanya membuat Sofia mengerang sebal.

"Lo berdua udah rencanain ini ya?!"

Tari menggeleng dengan cepat.

"Sof, kaki gue kesemutan."

"Makanya bangun,"

"Gak mau. Maafin dulu,"

Sofia lalu menghela napas panjang. Sebelum menatap Leon penuh permusuhan.

"Iya, dimaafin,"

Leon langsung bersorak heboh membuat semua orang menatap meja mereka terang-terangan. Hingga dua orang pelayan mendekati meja mereka dengan wajah berbinar.

"Diterima, pak?"

Leon mengangguk senang.

"Wah selamat. Semoga lancar dan langgeng seumur hidup ya pak,"

"Hah?"

Dika dan Tari kembali terbahak. Keduanya bahkan tidak bisa berhenti tertawa menatap wajah cengo Leon dan kebingungan di wajah Waiters tersebut.

Sofia sudah kembali memerah. Ia membenamkan wajahnya diatas meja. Tidak sanggup lagi menahan malu.

"Selamat buat apa?"Leon masih saja kebingungan.

"Barusan lamaran Bapak diterima, kan?"

"Hah? Lamaran? Siapa yang ngelamar?"

Dika dan Tari tidak sanggup lagi. Seolah paham kalo mereka juga salah paham atas pemandangan barusan, waiters tersebut akhirnya meminta maaf dan pamit dari sana.

Meninggalkan Leon yang masih melongo menatap sahabat-sahabatnya.

---

"Tumben nginep disini,"

Leon yang tengah bersantai di ruang keluarga sembari menonton serial terbaru menoleh pada Clarissa yang kini melangkah menujunya sembari membawa cemilan dan jus.

Laki-laki itu mengambil satu dari tiga gelas yang ada di nampan dan langsung meneguknya.

"Apartemen sepi."

"Tari kemana emang?"

Leon langsung meringis. Seperti sedang tertangkap basah.

"Kan aku gak tinggal bareng Tari, Ma."

Clarissa mencibir. "Kamu beli apartemen itu kan karna Tari suka."

Anak bungsunya itu langsung melongo. "Kok mama tahu?"

Tawa langsung muncul dari Sigit yang sudah ikut bergabung di sofa itu.

"Mama kamu cuma nebak dan kamu langsung ketahuan. Kamu udah mau tiga puluh tahun tapi masih bertingkah kayak anak tiga tahun,"

Ledekan papanya membuat Leon mendengus sebal.

"Jadi gimana sama Tari?"

"Gimana apanya sih? Ya biasa aja. Kayak biasa,"

Clarissa tentu saja tidak percaya. "Terakhir makan siang di sini, kamu sama Tari di kamar waktu Cakka panggil buat makan?"

Wajahnya langsung memerah. "Cakka ngomong apa?"

Sigit terkekeh. "Gak ngomong apa-apa, tapi dia salah tingkah. Berarti kamu lagu aneh-aneh siang itu,"

"Aku gak aneh-aneh."

Clarissa lalu menepuk lengannya. "Kalian laki-laki dan perempuan dewasa. Semua yang kalian lakukan pasti tahu risikonya kan? Apalagi hubungan kalian bukan seperti hubungan Lex dan Ara."

Leon menghela napas.

"Aku sama Tari masih temenan, Ma. Gak ada yang berubah. Dia masih Tari yang suka ngomel kayak waktu sekolah. Gak ada yang spesial,"

Sigit dan Clarissa akhirnya hanya mengangguk pasrah.

"Yasudah kalo begitu. Yang penting kamu tahu kan kalo Tari juga sudah kayak anak bagi mama dan papa?"

Leon hanya mengangguk lemah. Pertanda tidak ingin lagi mendebat orang tuanya.

Lagian hubungannya dengan Tari  memang sahabat, kan?

---

Love

--aku

Suit & Sneakers [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang