---
"Mau es krim gak?"
"Gak. Gue mau mandi,"
Tari melanjutkan langkahnya menuju kulkas setelah mendapat jawaban dari Leon. Ia mengambil sekotak eskrim dan satu buah sendok lalu membawanya menuju ruang tengah.
Televisi layar datar itu sudah hidup dan menyetel sebuah series berjudul Through The Darkness. Sebuah serial kriminal dan psikologi yang sedang digemari Tari. Kini ia sedang berada di episode tiga.
Tidak lama kemudian, Leon selesai dan ikut bergabung dengannya di sofa. Laki-laki itu meraih remote untuk menaikkan volume televisi.
"Ini series tentang apa? Crime?"
Tari mengangguk. "Cerita soal profiler pertama di Korea. Gue udah nonton drama ini dua kali,"
"Terus kenapa ditonton lagi?"
"Gak apa-apa. Pengen rewatch aja. Drama ini bikin banyak belajar tahu. Kita sering lupa masukin sisi psikologis kalo lagi ngerjain kasus. Padahal psikis seseorang itu sedikit banyak mempengaruhi tindakan yang akan dilakukan,"
Leon suka jika Tari menceritakan banyak hal tentang pekerjaan dan opininya. Bagaimana cara Tari menganalisis dan melihat berbagai kasus dari banyak sudut pandang sering membuatnya takjub.
"Gue pengen deh jadi detektif. Bisa kali ya gue sekolah lagi, ambil hukum gitu?"
Tari mendesis. "Gak usah sok-sokan mau sekolah hukum. Lampu merah aja suka lo terabas,"
"Yaa kan waktu udah malem. Gak ada kendaraan lain. Emergency juga. Lo bayangin kalo gue jadi pup di mobil gimana?"
Pembelaan itu membuat keduanya tertawa bersamaan. Keduanya terlempar pada memori ketika mereka baru lulus kuliah dan sedang sibuk mencari pekerjaan.
Sebenarnya salah satu kesamaan mereka adalah tidak masalah dengan makanan apapun, jadi biasanya warung tenda pinggir jalan bukan masalah.
Hanya sedang sial saja atau memang Leon yang sedang kalap pada sambal pada lele goreng itu, perutnya langsung bereaksi. Tidak menemukan toilet umum dimanapun yang bersih dan layak digunakan, mereka memacu mobil menuju rumah Tari yang memang lebih dekat.
"Ibu sampe khawatir banget malam itu."
"Kayaknya sejak malam itu gue udah gak punya harga diri dihadapan ibu dan Dikta,"
"Kalo didepan Dikta kayaknya sejak sekolah, deh. Lo gak inget waktu berantem sama dia gara-gara lo ngira dia cowok brengsek yang gangguin gue? Padahal dia lagi jemput gue,"
Leon tertawa. Ia menyurukkan wajahnya di bahu Tari yang terbuka.
"Udah ah. Kenapa jadi bahas aib masa lalu gini,"
Tari menepuk-nepuk paha laki-laki itu sembari terus tertawa.
"Bukan cuman lo, kok. Gue juga udah gak ada harga diri depan keluarga lo sejak kepergok Cakka waktu kita ciuman,"
Leon mengangkat wajah. "Itu kejadian beberapa bulan yang lalu, Tar. Sedangkan gue udah sejak jaman dahulu kala."
"Tenang aja. Ibu masih fans nomor satu lo kok,"
"Kalo gitu lo lebih tenang. Clarissa dan Sigit Wirajaya juga masih fans berat lo kok,"
Tari tertawa. Matanya sudah tidak lagi fokus pada layar televisi ketika Leon menarik kakinya untuk ditaruh di atas paha laki-laki itu.
Leon lalu menarikan jemarinya dengan lembut mulai dari telapak kakinya. Perlakuan itu melelehkan Tari. Ia merebahkan diri dan bersandar pada bahu tegap lelakinya.
