Cerita ini sangat ringan. Konfliknya gitu-gitu aja.
Tahu gak, cerita ini udah kelar aku tulis🙃
---
"Maksud kamu apa?!"
Suara Sandi langsung meninggi membuat Tari berjengit kaget.
"Setahun ini kamu gak punya perasaan apa-apa sama aku?!"
Tari terdiam. Tangannya ingin menggapai Sandi yang mundur selangkah.
"Kamu hanya tertarik karena aku bantu rakyat kecil itu, Tar? Kamu sayang sama aku seperti kamu sayang sama mereka?"
"Dengar dulu, Sandi. Dengerin aku dulu,"
Sandi tergelak. "Biar aku yang ngomong,"
Tari kembali terdiam. Keduanya kini masih berada di dalam mobil di basement kantor Tari berada.
"Sejak kamu bilang bahwa kamu menerima aku jadi pacar kamu asal aku bisa menerima keberadaan sahabat-sahabat kamu aku iyain, Tar. Karena aku tahu mereka penting buat kamu. Tapi ini sudah diluar batas,"
Sepertinya Sandi akan mengeluarkan semua isi kepalanya.
"Tapi hubungan kamu sama bajingan itu bukan cuman sekedar sahabat. Dial speed kamu cuman tiga. Ibu kamu, adik kamu dan Leon. Tebak dia nomor berapa? Satu. Aku bahkan gak ada dalam emergency contact kamu, Tari."
"Itu udah lama, aku gak sempat ganti."
Sandi menarik rambutnya frustasi.
"Find my iphone kamu bahkan dia. Kalian saling tahu posisi masing-masing tanpa keberatan.
Tari tidak bisa menjawab.
"Kalian saling tahu keluarga. Billy dan Lily itu bukan ponakan kamu kan? Mereka ponakan Leon kan? Kenapa kamu bohong dan ngaku kalo mereka ponakan kamu?"
"Aku cuman gak mau mereka gak nyaman hari itu,"
"Dan lebih milih bohong dan biarin aku yang gak nyaman? Pantes mereka nanyain uncle mereka terus hari itu,"
"Sandi, semua--"
Sandi menggeleng tegas. "Sejauh mana kamu akan bohongin aku, Tar?"
Ucapan Sandi terdengar pilu. Ia menoleh pada Tari dan menatapnya tajam.
"Ketika aku bilang ingin ngajak kamu lihat apartemen kamu tolak karena ngerasa gak enak. Tapi kamu hampir setiap hari menginap di apartemen dia, kamu pernah gak sekali aja mikirin aku saat sama dia?"
Tari tidak bisa menjawab.
"Sudah sejauh apa kamu sama dia?"
Pertanyaan itu terdengar menyudutkan di telinga Tari. Ia menatap Sandi tidak suka yang dibalas laki-laki itu dengan tatapan terluka.
Secepat kilat, laki-laki itu merangsek maju dan memagut bibir Tari dengan kasar.
"Dia lakuin ini juga ke kamu? Apalagi yang dia lakuin ke kamu tapi aku gak bisa?"
"Lepas, Sandi."
Sandi menggeleng tegas. Tubuhnya ia rapatkan pada Tari yang kini mendorongnya sekuat tenaga.
"Bilang sama aku, Tari, udah sejauh mana dia nyentuh kamu?"
Tangan kiri Tari yang sedang memegang ponsel langsung menekan angka satu. Hal itu tertangkap oleh Sandi yang kini tertawa. Ia melepaskan gadis itu dan kembali duduk di kursi kemudi.
"Turun."
Jantung Tari berdebar kencang. Ia menatap Sandi yang kini tersenyum angkuh.
"Kita putus. Aku gak bisa sama cewek yang selingkuh dengan kedok sahabat,"
