Dua Puluh Enam

5.1K 343 8
                                    

---

Banyak sekali yang terjadi ketika sebuah mimpi sudah berada di depan mata. Bukan berarti itu jadi sebuah pertanda bahwa seharusnya mimpi itu tidak bisa menjadi milik kita, tapi jadi sebuah pembuktian bahwa kita pantas untuk menggapainya.

Hal itu menjadi salah satu hal yang selalu diucapkan Leon ketika Tari merasa tidak pantas untuk suatu hal. Tapi laki-laki itu selalu menjadi orang paling depan dan paling pertama yang paham akan kemampuan dirinya.

"Kamu yakin suami kamu bakal ngijinin?"

Tari mengangguk pada Gio yang tampak masih ragu.

"Saya liat suami kamu tuh bucin banget, Tar. Kayak gak akan bolehin kamu ngapa-ngapain. Kalo kamu ambil pekerjaan berisiko tinggi gini, yakin dia bakal anteng aja?"

Pertanyaan Gio mulai melenceng terlalu jauh, dahinya berkerut sebelum menggeleng pelan.

"Saya rasa ini udah gak relevan, Pak. Perihal izin dan hal lainnya biar jadi urusan saya. Kalo memang Pak Gio tidak yakin dengan kemampuan saya lebih baik terus terang saja. Tapi jika membawa hal pribadi saya rasa ini terlalu tidak profesional,"

Gio meringis ketika bahunya dipukul oleh Fanny dari samping. Tari bisa melihat bagaimana hubungan keduanya yang berubah jauh.

"Kenapa aku dipukul? Kan aku cuman mastiin temen kamu gak akan kewalahan nanti hadepin suaminya."

"Gak semua cowok tuh posesif kayak kamu!"

Giliran Tari yang meringis. Sebenarnya tadi Fanny mengajaknya makan malam bersama, tidak menyangka jika Fanny ternyata mengajak pemilik firma tempat mereka bekerja yaitu Giovani Juari. Laki-laki yang paling diincar di firma mereka.

"Sorry Tari. Temen kamu ini emang agak bar-bar, ya. Saya kadang suka kewalahan hadepin dia, apalagi kalo di ranjang."

Fanny langsung memerah malu. Tangannya dengan reflek langsung memukul lengan Gio. Kali ini lebih pelan dan terkesan manja.

Tari tahu hubungan mereka sudah tidak seperti yang diceritakan oleh Fanny selama ini.

"Maaf, Pak Gio. Kalo memang saya diterima karena permintaan Fanny dan Pak Gio keberatan karena kemampuan saya yang tidak mumpuni, saya lebih baik ditolak langsung."

Melihat wajah Tari yang tampak sangat serius, Gio dan Fanny langsung saling tatap sebelum meringis bersamaan.

"Gak usah serius begitu, Tari. Saya terima kamu karena memang kemampuan kamu, kok. Semua orang di Juari juga tahu bagaimana sepak terjang kamu selama ini. Permintaan Fanny itu gak berpengaruh apa-apa terhadap penilaian saya. Kamu gak usah khawatir soal itu."

Ucapan Gio yang lugas dan tegas itu membuat Fanny tersenyum pada Tari yang akhirnya menarik napas lega.

"Tapi untuk urusan bekerja di LBH ini memang menjadi satu momok yang cukup membuat saya galau menerima pengacara perempuan. Bukan bermaksud membedakan gender, tapi memang kadang yang kita bela lebih berisiko dibandingkan di Juari. Kita memang memberikan bantuan itu secara cuma-cuma. Kamu bisa melihat dipersidangan seberapa besar peluang mereka yang dibela LBH menang apalagi jika berhadapan dengan orang-orang berduit."

Kenyataan itu membuat Fanny menatap Gio tak terbaca. Pun Tari yang kini tampak terdiam.

"Kenapa saya lebih memilih pengacara laki-laki karena secara fisik dan mental lebih stabil dibandingkan perempuan. Perempuan ini makhluk perasaan, kaum kalian kadang terlalu menaruh hati dalam sebuah pekerjaan. Walaupun itu yang dibutuhkan dalam pekerjaan kita, tapi jika porsinya berlebihan hal itu justru akan membuat kita jadi lebih rentan dan jauh lebih emosional."

Suit & Sneakers [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang