---
Tingkah Leon yang sangat manja dan tidak ingin Tari jauh sedikitpun membuat Tari menarik memori tentang bagaimana hubungan mereka selama ini.
Apalagi pembicaraan dengan Mia dan Ara dua minggu lalu juga belum pergi dari kepalanya. Tari akhirnya sadar bahwa hubungannya dengan Leon sudah sangat melewati batas.
Tadi ketika Ara bertanya soal Leon membuat Tari sadar ada yang tidak beres dengan laki-laki itu. Setelah berbincang lama dengan Ara, Tari akhirnya memutuskan untuk melangkahkan kaki ke rumah ini.
Rumah orang tua Leon.
"Kamu kok gak ngabarin mau kesini, sayang? Kan mama bisa masak dulu tadi,"
Tari tersenyum lebar. Ia memeluk wanita cantik dan baik hati itu.
"Kan aku niatnya mau bawain makan malam,"
Sigit tertawa. "Papa kira kamu lagi disuruh Leon buat nyogok mama biar baikan sama anak badung itu,"
Tari ikut tertawa. "Dia gak tahu kalo aku ke sini. Katanya sih tadi masih ada yang mau dikerjain di kantor,"
Ketiganya lalu menuju ruang makan. Meminta asisten rumah tangga menyiapkan makan malam yang sudah dibawa Tari. Ada sop seafood dan ayam bakar mentega. Kesukaan orang tua Leon.
Setelah Lex dan Ara menikah, Sigit dan Clarissa juga menyuruhnya memanggil papa dan mama. Alasannya karena susah mengganti panggilan saat mengobrol bersama. Tari tentu saja tidak menolak permintaan itu. Apalagi ia memang sudah menganggap pasangan itu seperti orang tuanya.
Clarissa juga dekat dengan Maya, Ibunya. Mereka bahkan sering jalan bersama tanpa ada Tari ataupun Leon. Kedekatan yang membuat Tari tidak lagi merasa sungkan.
"Ibu kamu apa kabar, sayang? Minggu lalu mama ajak ketemu katanya lagi gak enak badan,"
Tari mengangguk. "Iya, Ma. Ibu itu udah mulai capek ngurusin catering tapi gak mau lepas biar diurus orang aja. Katanya gak enak sama pelanggan yang udah percaya."
"Tapi memang gitu, Tari. Mama pernah minta resep sama Ibu kamu bikin capcay-nya yang enak itu, tapi tetap aja rasanya gak sama. Leon bahkan ledekin katanya walaupun mama nyuri semua resep Ibu kamu gak akan bikin mama pinter masak,"
Tari terkekeh. "Aku juga gak jago masak, Ma."
Sigit langsung tersenyum bangga. "Mungkin urusan dapur memang lebih jago laki-laki dalam keluarga kita. Ara juga suka ngeluh kalo masakan Lex lebih enak dari masakan dia,"
Clarissa tidak terima. "Tapi Ara jago bikin kue. Dibanding Leon, Tari juga lebih jago urusan dapur. Papa gak tahu aja dapur apartemen Leon lebih hidup karena ada Tari di sana,"
Karena pembicaraan sudah dibuka dan makan malam mereka sudah selesai. Tari akhirnya menyampaikan niatnya malam ini.
"Aku mau minta maaf karena aku Mama sampai berantem sama Leon. Aku gak akan nginap di apartemen dia lagi, Ma."
Clarissa mendekat. Ia membawa gadis itu duduk dekat dengannya.
"Bukan begitu maksud kami, nak."
Tari tampak ragu. Tapi tatapan lembut Clarissa dan senyum Sigit membuatnya lebih tenang.
"Kalian adalah laki-laki dan perempuan dewasa. Kami paham sekali bagaimana pergaulan di luar sana. Mama sama Papa bukan tidak setuju kalian tinggal bersama. Hanya saja, apa kalian nyaman terus-terusan seperti ini?"
Pertanyaan itu tidak mampu dijawab Tari.
"Papa dengar kamu punya pacar dan yang sekarang sudah berjalan hampir setahun, benar?"
Tari mengangguk pelan.
"Dia tahu hubungan kamu sama Leon?"
Tari kembali mengangguk.
"Dia menerima?"
"Aku udah ngomong kalo dia jadi pacar aku dia harus siap dengan menerima aku dan Leon sekaligus. Karena Leon gak akan mungkin jauh dari aku, dia menerima--"
"Kamu yakin dia nerima?"
"Ma?"
Clarissa mengenggam erat jemari Tari. "Tidak akan ada laki-laki yang bisa menerima hubungan seperti ini, Nak. Dan bagaimana mungkin kamu melibatkan Leon ketika kamu menjalin hubungan dengan laki-laki lain?"
Tari tergagap. "Cewek-cewek Leon--"
Sigit menggeleng tegas. "Tidak pernah ada perempuan di hidup Leon selain kamu, Nak. Semua perempuan itu cuman dijadikan sebagai tameng agar kamu tidak pernah hilang di hidupnya. Kamu lihat beberapa tahu belakangan ini, apa ada perempuan disekitar Leon?"
Kenyataan itu membuat Tari tergugu. Matanya langsung berkaca-kaca.
"Kami berbicara bukan sebagai orang tua Leon, biarkan anak badung itu sadar sama perasaannya sendiri nanti."
"Aku gak tahu--"
"Kalian terlalu sering bersama dan nyaman satu sama lain hingga gak sadar kalau perasaan lain udah tumbuh. Kamu gak sadar bahwa perasaan itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih kuat,"
"Leon--"
Sigit berdecak. "Anak itu terlalu pengecut untuk mengakui perasaannya sendiri. Dia takut kamu tidak punya perasaan yang sama. Dia cuman bisa menjebak kamu dengan status sahabat yang kalian punya."
Walaupun sebelumnya ia sudah mendengar dari Mia dan Ara, Tari tetap tidak bisa tidak terkejut. Air mata langsung mengalir dari sudut matanya.
"Jangan nangis, sayang. Perasaan baik ini tidak perlu kamu tangisi,"
Clarissa menarik Tari ke dalam pelukan. Mengusap punggung dan kepala gadis itu penuh sayang.
"Tari harus gimana, Ma?"
"Selesaiin dengan diri kamu sendiri dulu, Nak. Kamu harus paham bahwa ini tentang banyak pihak. Setelah kamu sadar perasaan kamu yang sebenarnya, kamu harus bicarain ini sama pacar kamu. Sandi, kan, namanya?"
"Mama tahu?"
"Leon suka maki-maki pria itu kalo kamu gak bisa jalan sama dia dan milih pacar kamu itu,"
Kenyataan itu membuat Tari meringis.
"Mama?"
"Ya?"
"Jangan marah sama Leon, Ma. Aku minta maaf udah bikin mama sama Leon berantem,"
Clarissa berdecak. Ia menatap Sigit dengan sinis.
"Lihat kelakuan anak bungsu papa itu, udah badung, bikin Tari minta maaf padahal gak salah. Awas aja mama bakal botakin rambut dia yang awut-awutan itu,"
---
Love
--aku
