Mengpanik

826 225 40
                                    

Siapa di sini yang cita-citanya mati di usia 21 tahun, mengenaskan, tidak berkontribusi ke keluarga atau ke negara, dan selama hidupnya menjadi beban?

_____

Aku menelan ativan ketika leherku terasa dicekik. Aku juga berusaha mengatur napas. Menahan diri untuk tidak membentur-benturkan kepala ke tembok kamar.

Darahku mulai mengalir lebih tenang namun lututku masih gemetar. Kepalaku berputar, memikirkan hal-hal buruk soal pertemuanku dengan Clarinna tadi. Tidak. Tidak. Tidak. Gumamku sambil menjambak rambut.

Clarinna akan mengabaikan perjumpaan tadi. Iya, kan?

Tapi tidak juga. Sangat mudah baginya meng-influence orang-orang tentang pertemuan tadi.

Aku tidak bisa berpikir jernih. Cepat kuambil ponsel dan kucari nama Gatan. Dia tidak menjawab panggilanku. Pasti temanku itu sedang sibuk. Kalau bukan ngegym, mungkin kencan dengan pacarnya.

Aku lantas mencari nomor Karan. Kusambung telepon dan dia langsung menyetujui di dering pertama.

"Hallo, Luc. Eh, tunggu. Lo seharusnya masih di Dokter William," Karan menyerobot. "Jadi, apa masalah kali ini?"

Aku menyandarkan punggung ke kepala ranjang. "Gue ketemu seseorang pas mau ke tempat Dokter William."

"Astaga. Terus terus?"

"Dia hapal muka, bahkan nama gue."

"Jangan bilang orang itu Clarinna."

"Iya, memang dia. Tapi dia pasti bakal ngelupain itu, kan?"

"Kayaknya nggak." Perutku terasa mual saat Karan menjawab pertanyaanku. Bukan tanpa alasan dia dipanggil Miss Happiness Killer. "Dia pasti tahu ada sesuatu yang salah sama lo."

Aku berusaha tidak terpancing kendati lututku kembali gemetar. Ah, aku menyesal menghubungi Karan. Harusnya Gatan yang kutelpon. Dia tidak pernah membuatku lebih resah. Dia jauh lebih tangguh di antara kami.

"Oh, gimana ini, Luc? Haruskah gue ngelakuin sesuatu?"

Suara Karan benar-benar senewen. Kalau sedang saling tatap, bisa kulihat matanya berkilat ketakutan. Jemarinya tremor. Keringat di dahinya bermunculan.

"Luc, apa mungkin kalian akan ketemu lagi?"

"Mungkin," kataku.

"Gimana kalau ternyata dia punya hubungan sama petugas di sana? Visi misinya waktu nyalon jadi presma, ingat? Nggak nutup kemungkinan dia akan cari tahu juga. Nanti jangan-jangan dia akhirnya tahu kalau lo sering ke sana."

Aku menggeleng frustrasi. Kubuka botol di saku celana dan kuraih pil di dalamnya. Aku agak geram menyadari kalau ativan yang diresepkan mulai tidak berefek lagi, alias harus tambah dosis.

Omongan Karan bisa jadi benar, bisa juga benar sekali. Oh, sial! Bagaimana ini? Ayah pasti marah besar kalau sampai tahu ada yang melihatku di tempat Dokter William.

Aku bisa membayangkan besok, beberapa mata akan melihatku dengan pandangan penuh selidik. Beberapa mungkin akan saling berbisik. Lihat, anaknya Pak Surya ternyata sakit mental. Malu-malui banget padahal bapaknya orang berpendidikan.

"Luc, lo masih di sana?"

"Ya."

"Kalau nanti keluarga lo nyalahin, tolong tutup kuping saja. Omongan mereka nggak benar, Luc. Lo bukan aib."

Aku memijat pelipis lalu mengerjap berat. Karan sedang berusaha menghibur. Dia sebenarnya sama khawatirnya. Dulu Karan pernah mengalami hal tidak menyenangkan yang berhubungan dengan perlakuan memalukan di depan umum.

Luka LucaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang