Terima Kasih Semesta

621 183 57
                                        

Kalau semua orang menganggap hidup ini tidak adil, bukankah itu adil?

_____

"Bang Jona yang mulai duluan, tapi malah Luca yang dihukum. Selalu begitu."

Aku sudah terbiasa kelihatan bicara sendiri. Entah secara harfiah ketika ada Gatan dan Karan, maupun implisit seperti sekarang, tepatnya ketika orang yang kuajak bicara tidak merespons. Sejak tadi dia hanya memainkan boneka bayi plastik tanpa menaruh atensi padaku.

"Kalau begini terus, Luca nggak yakin kita bisa keluar dari sini. Luca mungkin keburu mati dipukuli Ayah."

Aku bukannya tidak mau kabur dari rumah ini, tapi aku sadar akan kapabilitas diriku sendiri. Tabunganku masih sedikit, keadaan mentalku tidak memadai, dan aku tidak punya siapa-siapa di luar sana. Rumah ini memang neraka. Tapi di luar sana bisa lebih mengerikan untukku dan Mama Maya. Membayangkannya sudah ngeri. Dua orang dengan gangguan jiwa, nekat pergi tanpa uang yang memadai. Niatnya mencari kebebasan, jatuhnya justru menggali kuburan sendiri.

Aku tidak apa-apa jika harus mati di jalanan, tapi Mama Maya jangan. Kurasa dia masih ingin hidup seribu tahun lagi. Eh, entahlah, dia tidak pernah bicara soal itu padaku.

Omong-omong, hari ini aku tidak ke kampus. Ayah yang melarang. Luka di wajahku masih amat parah. Dia takut ketahuan. Selalu begitu tiap kali selesai menghajarku.

Terima kasih semesta atas luka ini! Haha.

"Kuskus."

Aku mendongak ke samping kanan.

"Nono. Kuskus. Nono. Kuskus."

Imah mengangkat si bayi plastik setiap mengatakan Nono, dan menunjukku setiap berujar Kuskus. Pasti itu panggilan untuk kami. Kalau dia jadi novelis, kurasa bukunya tidak akan laku. Nama yang dia pilih kurang komersil. Termasuk namanya sendiri.

"Kuskus sakit?"

Imah tiba-tiba memegang daguku dan mengajak saling tatap. Wajahnya langsung cemberut saat mata kami bertemu. Aku meneguk ludah, darahku berdesir kuat. Sekilas aku seperti melihat kilatan sedih di mata cokelatnya.

"Kuskus sakit." Mata cokelatnya mengeluarkan air sekarang. "Kuskus sakit. Kuskus sakit. Ibuuuu Kuskus sakit. Ibuuuuu mana ibuuuu."

Imah beringsut lalu berlari sambil memanggil-manggil Mbok Ratih. Aku sengaja tidak mengejarnya. Karena biasanya setelah itu Imah akan langsung lupa padaku.

Aku memutuskan untuk membereskan mainan plastik yang tergeletak di mana-mana. Tadi kami sedang main masak-masakan. Imah membuat ayam goreng, sementara aku menceritakan kelakuan Ayah semalam.

"Den."

Aku mendongak tepat ketika boneka Nono kutaruh bersama mainan plastik lainnya. Mbok Ratih muncul sambil membawa kotak obat. Imah membuntuti dengan wajah bersimbah air mata.

"Mbok obati, ya."

"Nggak usah, bisa sendiri."

Mbok Ratih menatapku dengan prihatin. Sebagai ART yang setia, juga takut, Mbok Ratih lebih memilih tutup mulut dan mengikuti alur yang diciptakan Ayah Ibu soal aku dan Imah. Karena pengakuannya juga makanya sampai sekarang tidak satupun tetangga yang mencium kebusukan keluarga ini.

"Yang sabar, ya, Den."

Aku mengangguk sambil menerima sodoran kotak obat.

"Maaf Mbok nggak bisa berbuat apa-apa."

Sekali lagi aku mengangguk. "Makasih obatnya, saya masuk dulu."

*
*
*

"Shhh," aku mendesis ketika menempelkan bulatan kapas di sudut bibir. Sangat susah mengobati diri sendiri, apalagi hanya bermodalkan cermin. Sakit, perih, nyeri, linu, semua lengkap.

Luka LucaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang