Tidak Jelas

614 163 35
                                        

Jangankan memiliki sesuatu yang bentuknya masih angan-angan. Apa yang sudah kumilikipun perlahan menghilang.

____

Ada yang berubah sejak aku melawan. Bukan saja aku semakin didiamkan oleh anggota keluarga, si Bandot tua pun tampaknya menjadi tidak mau berurusan lagi. Soal kunjungan Dokter William misalnya. Ia tidak lagi mempedulikan aku datang atau tidak. Padahal biasanya sehari sebelum jadwal, dia akan berisik.

Kuanggap sikapnya itu sebagai bentuk reaksi kesadaran, bahwa anak yang selama ini disiksanya adalah manusia. Yang suatu saat pasti berontak. Yang ketika batas diamnya terlampaui maka akan melawan tanpa ampun.

Selain itu, perbedaan yang kurasakan adalah munculnya sisi diriku yang selalu ingin berontak ketika sesuatunya tidak sesuai keinginan. Ketika Emmer memintaku latihan baca puisi, kutolak dengan alasan masih UAS. Sampai akhirnya Emmer emosi, ia cuma bilang, "Ya sudah terserah. Yang penting jangan bikin acaranya kacau." Aku percaya bahwa yang disampaikan Emmer adalah rasa muak. Ia sebenarnya sudah sangat ingin mendepakku dari Clarinna Campaign.

"Sorry, Luc, tapi harus ada yang mastiin penampilan lo smooth. Selama ini kami nggak pernah lihat lo latihan." Latin menyuarakan pendapat dengan sangat hati-hati.

"Jangankan latihan, nunjukin puisinya saja nggak pernah."

Ars mengatakannya tanpa melirikku. Dia duduk di sebelah Adjie, selalu begitu tiap kali rapat. Aku jengkel melihatnya. Bukan saja cara penyampaiannya, melainkan juga kenyataan bahwa ini pertama kalinya dia bicara padaku setelah beberapa waktu.

"Kalau dari awal nggak mau tampil, bilang. Jangan malah nyusahin semua orang. Kasihan Adjie sama anak teater lainnya. Sudah mantep banget persiapannya."

Aku mengepalkan tangan di balik saku. Pundak Ars terlihat diusap-usap oleh Adjie. Entah kenapa perasaanku makin memburuk saat melihat itu.

"Tenang saja," kataku. "Gue tahu ini acara gede. Yang penting jangan bikin kacau, kan?"

Setelahnya rapat dilanjut seperti biasa. Aku tidak terlalu menyimak pembahasan secara detail. Mataku berkali-kali melihat ke arah Ars dan Adjie. Konsenku lantas terpecah. Mereka itu apa, sih? Bukannya sudah putus? Kenapa lengket begitu?

Bukannya mau menutup mata, tapi pada akhirnya aku merasa Ars menjauhiku karena dia dekat dengan cowok lain. Dia tidak pernah menjawab telpon dan pesanku lagi. Duduk rapat juga selalu pilih kursi yang jauh dariku. Sebenarnya dia itu kenapa? Apa salahku sampai-sampai dijauhi begini?

Aku tidak tahu sampai kapan hatiku bisa bertahan. Sudah terlalu banyak yang tertampung di sana. Rasa marah pada keluarga, frutrasi karena tidak mendapat petunjuk soal Clarinna, takut kedokku ketahuan, cemas pementasan, kesal melihat Ars dengan yang lain, semuanya. Ibarat wadah air, isinya sudah sangat penuh dan siap tumpah.

"Rapat tadi memang banyak evaluasi, tapi jangan dimasukin hati," Latin berujar ketika kami sampai di depan indekos. Seperti biasa, karena sudah malam makanya kuantar dia. "Tinggal beberapa hari lagi. Semangat, Luc."

Aku mengangguk.

"Eh, La," kataku sebelum balik badan. "Ars dan Adjie pacaran, ya?"

"Nggak tahu. Dia nggak cerita apa-apa, sih. Kenapa?"

Aku menggeleng. "Cuma kepo."

"Mesra banget, ya? Alah, biasa itu. Kalaupun beneran balikan, nanti juga putus lagi."

"Gitu, ya?"

Latin mengangguk yakin, aku dongkol seribu persen.

Dirasanya tidak ada yang perlu dibahas lagi akupun pamit.

Luka LucaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang