Aku-an

482 166 83
                                    

Jalan-jalan ke marga satwa
Jangan lupa lihat biri-biri
Kukira hubungan kita istimewa
Ternyata aku yang tidak tahu diri

_____

Hari pementasan. Hari yang sangat ingin kuhindari.

Seperti yang lainnya, aku tidak bisa memejamkan mata sejak semalam. Kepalaku terasa berdenyut, lambungku bergejolak padahal aku belum makan apa-apa dari kemarin siang. Kalau ada fitur skip hari, ingin rasanya kupakai khusus hari ini.

Aku mencoba merilekskan diri dengan berkeliling di belakang panggung. Emmer terlihat sibuk memberi instruksi pada beberapa orang. Latin tidak ada karena kulihat dia repot di meja pendaftaran. Beberapa anak teater sedang berias dan memeriksa properti. Yang menyadari kehadiranku sempat menyapa.

Acara hari ini dilaksanakan di aula utama kampus. Dekorasi dan persiapan panggung seratus persen rampung. Kanan kiri aula dihiasi poster yang menyuarakan betapa pentingnya kamu. Lengkap dengan pernak-pernik yang berhubungan dengan kesehatan mental. Tidak lupa foto Clarinna juga terpampang di beberapa titik. Potretnya kebanyakan diambil saat dia aktif di organisasi. Semua angle-nya benar-benar menunjukkan dirinyalah tokoh utama di sini.

Barisan kursi depan diperuntukkan khusus tamu VIP. Salah satunya Om Damar dan Tante Rachel. Acara dijadwalkan pukul sepuluh, dua jam lagi. Ratusan pemegang tiket sudah berbaris di luar.

Aku mencari spot kosong untuk menetralkan keresahan. Ativan sudah kusiapkan di saku. Tinggal kukonsumsi nanti begitu waktunya tampil. Untuk membunuh waktu, kuraih secarik kertas di dalam saku hoodie. Ini yang akan kubacakan di hadapan hadirin nanti.

Aku sudah latihan di kamar beberapa kali. Kuharap hasilnya tidak mengecewakan. Aku juga sudah berdoa sebelum berangkat. Ya Tuhan, kumohon, kali ini saja, jangan buat kejadian di kelas lima SD terulang. Amin.

Untuk menunjang harapanku pada Tuhan, aku latihan lagi sekarang. Semakin kubaca, semakin kuyakin akan lancar. Aku sudah hapal isi dari tulisan yang akan kubacakan nanti. Aku bahkan sudah tahu timing yang pas untuk melihat ke arah hadirin. Dibantu ativan, kurasa aku bisa melewati hari ini dengan baik.

Aku meraba-raba saku hoodie untuk mengambil penenang. Seingatku ditaruh di sini tapi kenapa tidak ada, ya? Aku terus meraba saku. Kali ini ke bagian jins juga.

Tenang, Luca. Pasti ada. Pasti ada. Kataku dalam hati ketika kepanikan mulai melanda.

Gerakanku yang masih meraba-raba saku terhenti. Langkah-langkah kaki terdengar berderap ke arahku. Aku menenggelamkan diri di balik pilar supaya tidak terdeteksi.

"Kamu sudah harus gabung sama yang lainnya, Bi. Ngapain ngajak kemari?"

"Butuh ceri. Please, demi kelancaran penampilan."

Dadaku bergemuruh hebat saat mengetahui Ars dan Adjie yang ada di sana. Mereka berhadapan dengan Ars yang membelakangi tembok. Keduanya saling tatap penuh arti. Ars tersenyum malu-malu ketika Adjie mengusap-usap pipinya.

Aku menarik tubuhku kendati penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya. Dadaku berdebar-debar seiring seringnya mereka terkekeh. Beberapa kata sempat terucap dari Adjie, seperti don't leave me again dan dijawab never oleh Ars. Sampai akhirnya pada suatu titik, percakapan mereka berhenti. Aku tidak mendengar apapun lagi.

Kuintip dan aku menyesal.

Ars dan Adjie berciuman. Fantasi yang selama ini muncul di kepalaku terealisasikan secara nyata. Bedanya, bukan aku yang jadi pemeran utamanya. Ars menutup mata sementara bibirnya yang basah terlihat bergerak penuh gairah. Aku memalingkan wajah saat kecipak ludah terdengar samar-samar. Napas memburu mereka membuat sesuatu di tubuhku remuk.

Luka LucaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang