Impulsif

510 168 75
                                    

Katanya orang depresi itu nggak benar-benar mau mati, mereka cuma mau mengakhiri belenggu masalah yang ada.

Tetot.

Aku beneran mau mati, kok.

____

"Dengan masuknya donasi dari Pak Surya Fabiyantoro barusan, tercapai sudah target yang ditetapkan Clarinna Campaign. Luar biasa! Terima kasih banyak, Pak Surya. Sungguh detik-detik yang mengesankan."

Sorak sorai berpadu dengan tepuk tangan. Beberapa bersiul meramaikan informasi dari sang pembawa acara. Orang-orang di belakang panggung ikut antusias. Mereka mengelu-elukan Pak Surya, si dosen favorit.

Aku duduk sendirian di sudut belakang. Berpasrah atas kehancuran hatiku setelah pengakuanku terhadap Ars, juga namaku yang akan dipanggil beberapa menit lagi. Aku sudah tidak bisa berpikir jernih. Kertas di hoodie pasti sudah lecek. Berbaur dengan keringatku yang membanjir, juga tanganku yang kotor karena tanah. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah mengatur napas dan berdoa, semoga kali ini Tuhan mau berbaik hati.

"Seperti yang kita tahu, kampanye ini dibentuk atas dasar kesadaran terhadap kesehatan mental. Kami percaya, kepergian Clarinna bukanlah sesuatu yang sia-sia."

Aku kembali mengatur napas kendati keringat terus mengucur. Orang pasti mengira aku baru selesai diguyur air. Bahkan jika aku membuka hoodie-ku, mereka pasti percaya aku habis tercebur ke kolam renang.

"Tidak perlu mengulur waktu lagi, kita sambut perwakilan Clarinna Campaign, sekaligus sahabat terdekat, juga sosok yang selalu menemani Clarinna. Lucaaa Abadiii."

Riuh tepuk tangan terasa menampar-nampar jantungku. Semua mata di belakang panggung mengarah kepadaku. Kebanyakan dari mereka berbisik semangat, Luca. Aku menunduk untuk menghindari ketakutan. Tanganku masuk ke hoodie sementara kakiku mulai naik ke tangga panggung.

Mati aku!

Aku menelan ludah, makin menjejalkan tangan ke saku. Lampu menyorot fokus ke tempatku berdiri. Oh, pasti kelihatan sekali wajahku mengkilat karena keringat. Sorak sorai terus membahana. Kulihat beberapa orang mengangkat ponsel tinggi-tinggi.

Sampai ketika hadirin mengecilkan bersuara, keresahanku naik berkali-kali lipat. Kukepalkan tangan untuk menepis tremor. Kuatur napas meski dadaku siap meledak.

Latin berdiri tidak jauh dariku. Tangannya terangkat dan senyumnya terukir memberi semangat. Kulihat pula Om Damar dan Tante Rachel yang duduk tepat di depanku, bersebelahan dengan si Bandot Tua. Melihat bagaimana dinginnya tatapan pria itu, membuatku ingin kencing sekarang juga.

Hadirin memberi tepuk tangan untuk mencairkan ketegangan yang kurasa. Aku menyeka keringat dan mencabut mikrofon dari penyangga. Karena panik, pengeras suara itu tergelincir dan menciptakan bising luar biasa.

Aku memungut mikrofon dengan salah tingkah. Tepuk tangan kembali terdengar. Setelah mengatur napas seadanya, aku pun mulai bersuara.

"Sssse ... ssselamat pagi." Kerongkonganku tercekat. Desakan air mata membuat pandanganku kembali memburam. "Sss... sss... saya ingin mmmm mmmmenyampaikat ssss ssessuatu."

Kudengar desisan di samping panggung. Emmer memelotot sambil menunjuk-nunjuk papan rundown. Tidak jauh dari Emmer, Ars berdiri. Dia menatapku tanpa ekspresi.

Apa yang harus kulakukan? Tanyaku pada diri sendiri. Aku benar-benar tidak tahu harus ngapain. Otakku tidak bisa berpikir jernih.

"Sst. Luc!"

Desisan Emmer kembali terdengar. Dia memelotot emosi. Aku melengos kemudian menunduk.

Kumohon, Tuhan. Satu kali saja.

Luka LucaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang