Ketika seseorang mati karena depresi, orang-orang akan bersimpati, mengirim bunga, bertanya-tanya kenapa, dan memberi banyak dukungan. Padahal akan lebih baik jika semua itu dilakukan saat seseorang itu masih hidup.
____
"Tuhan, berilah dia istirahat kekal."
"Sinarilah dia dengan cahaya abadi."
"Semoga semua orang yang sudah meninggal bisa beristirahat dalam damai."
"Dalam nama Bapa."
Tidak banyak yang hadir di pemakaman ini. Kudengar, keluarga Clarinna memang membatasi hadirin. Tidak seorangpun di sini yang mewakili pihak kampus. Padahal kalau dilihat-lihat, akan ada ribuan orang yang datang.
Sejak berita kematiannya diumumkan, BEM kampus memajang semacam monumen untuk mengenang Clarinna di depan gedung serba guna. Monumen itu berupa meja sepinggang dengan foto Clarinna di tengahnya. Terakhir kulihat, ratusan bunga terpampang di sana, lengkap dengan sticky notes yang bertuliskan bela sungkawa sesedih-sedihnya.
Aku masih agak segan menaruh sticky notes di sana. Tapi sebagai gantinya, aku menyanggupi permintaan orang tua Clarinna untuk datang ke pemakaman. Sebenarnya kalau ditimbang-timbang, daripada datang ke sini, lebih baik aku diam di kamar. Menulis puisi atau menggambar.
Yah, tapi, si Gatan agak cerewet. Dia mengompori Miss Happiness Killer juga. Alhasil, aku mengalah.
Sekarang aku berdiri di paling belakang, paling ujung. Karan di sampingku tersedu-sedu. Dia memakai dress hitam——tanpa alas kaki.
Ini pertama kalinya aku hadir di pemakaman "teman". Ketika pria ——yang sepertinya pemimpin agama—— berdoa lalu dijawab hadirin, aku cuma diam karena tidak tahu liriknya. Biasanya kalau di agamaku cukup bilang amin setiap kali pendoa berucap.
Tante Rachel ——well, aku menghilangkan embel-embel Bu dan mengganti jadi Tante—— tampak begitu berduka. Matanya sembap, juga ada jejak air di bawah lubang hidungnya. Karena tadi aku datang terlambat, kami belum sempat berkomunikasi. Kuharap dia ——juga Om Damar—— tidak melihatku.
Tolong dicatat, tujuanku datang hanya sebagai penghormatan terakhir. Setelah ini selesai aku akan langsung balik badan. Pulang. Memikirkan cara apa yang patut kucoba untuk bunuh diri.
Hahaha bercanda.
Tapi bohong.
Tapi iya.
Apa, sih, kebiasan sekali si babik ini?!
Sepertinya acara telah selesai. Kulihat hadirin mulai bubar. Aku berbalik, siap pergi.
"Bro." Gatan tiba-tiba muncul dan menahan bahuku. "Kalau cuma hadir, pohon juga begitu di pemakaman ini."
Gatan benar. Baiklah. Aku akan menunggu hadirin hilang barulah menghampiri makam Clarinna.
Sekian menit berlalu, sebagian besar orang telah pergi. Yang terakhir adalah sepasang manusia yang amat kuhindari. Kami saling tetap sejenak, aku refleks mengangguk takzim——turut berduka cita, Om, Tante.
"Kamu datang, Luca. Terima kasih banyak."
Tante Rachel menyambutku. Air matanya kembali berlinang. Om Danar tersenyum haru. Sama gembiranya atas kehadiranku.
Aku mengutarakan maksud——untuk mendekati kuburan. Sepasang manusia di hadapanku mempersilakan. Aku berjalan ke pusara bertuliskan nama Clarinna. Diikuti Gatan dan Karan. Mendung tiba-tiba saja menaungi kepala kami. Seakan-akan kami terisap pada ombak kesedihan.
"Pasti hampa sekaligus tenang sekali, ya," bisikku sambil menatap nisan lurus-lurus.
Gatan dan Karan ikut menunduk. Isakan Miss Happiness Killer mulai menyemarakkan sekitar. Dengan baiknya Gatan meletakkan tangannya di bahu kananku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Luca
General FictionWalaupun sangat ingin, Luca Abadi percaya dirinya tidak akan mati dalam waktu dekat. Seperti halnya hari itu, ketika sudah siap bunuh diri, Clarinna si presiden mahasiswa malah datang memergokinya. Perjumpaan itu membuat segalanya kacau--dalam versi...