Progresif

486 160 61
                                    

Depression is when you don't really care about anything, anxiety is when you care too much about everything, and having both is just like hell.

____

Sejauh ini beberapa hal berjalan mulus. Jumlah pengikut akun Clarinna Campaign menginjak enam ribu. Donasi terkumpul sedikit demi sedikit. Pengurus baru telah diresmikan sebanyak sepuluh orang.

Rapat mingguan ditetapkan setiap Senin dan Jumat malam. Lokasi masih berpindah-pindah, tergantung kesepakatan (tepatnya kemauan Emmer). Awalnya aku cukup kewalahan karena agenda baru ini. Aku yang terbiasa kupu-kupu (kuliah pulang, kuliah pulang) dan kadang kudis (kuliah disiksa, kuliah disiksa), perlahan harus mengatur waktu. Alhasil, kukorbankan kegiatan menggambar dan menulis puisi. Walau tidak bakat-bakat amat, dua kegiatan itu bisa mendistrak kecemasanku.

Lewat rapat minggu lalu, ditetapkan kalau batas donasi adalah tiga bulan ke depan, bertepatan dengan berakhirnya semester ini. Beberapa program telah dimasukkan ke dalam agenda, termasuk menjalin kerja sama dengan klinik atau rumah sakit kejiwaan. Walaupun ketika rapat lebih banyak diam, dalam hal ini Emmer dan yang lainnya bisa mengandalkanku. Mereka percaya bahwa kedekatanku dengan Clarinna membuatku tahu lebih banyak soal kesehatan mental.

Aku juga telah memberitahukan kampanye ini pada Om Damar dan Tante Rachel. Respons mereka di luar dugaan. Keduanya amat tersentuh dan berterima kasih, padahal Latin dan Ars sudah yakin akan dikontra. Mengingat sampai detik ini orang tua Clarinna masih begitu tertutup dimintai keterangan terkait kepergian sang anak.

Satu-satunya yang menjadi masalah dari kampanye ini adalah keluargaku sendiri. Bang Jona menunjukkan kesinisan, bahkan terang-terangan mengatakan yang kami lakukan sia-sia. Aku khawatir jika omongannya itu diamini si Bandot Tua. Akan sangat merepotkan kalau aku tiba-tiba disuruh mundur.

"Sudah sampai mana progresnya?"

Suatu hari Ayah memanggilku ke ruang kerjanya di kampus. Janggal sekali rasanya duduk di hadapan si Bandot Tua sebagai mahasiswa. Tapi hal baiknya, tatapan sinis nan bengis tidak muncul sama sekali. Dia benar-benar bersikap seolah aku ini mahasiswanya.

"Kami baru ngeresmiin anggota baru. Minggu depan mulai nyicil proker pertama."

Dia mengangguk kemudian terseyum. Dicatat, bukan padaku. Di belakangku baru saja lewat dosen perempuan yang menyapanya.

"Donasinya sudah berapa persen?" tanyanya lagi. Aku mulai muak. Dia bertanya seolah sangat peduli dan siap mendukung. Padahal aku tahu dia mungkin hanya cari muka, biar kesan dosen favorit melekat selalu. Cuih!

"Pertadi pagi masih lima persen."

Ayah mengangguk-angguk. Ia melipat tangan di meja kemudian mendekatkan wajah. Telunjuknya mengisyaratkan agar aku memperpesempit jarak.

"Nggak ada yang tahu kamu ke psikiater, kan?" bisiknya. Bulu kudukku meremang. Rasanya suasana berubah drastis. Suara santainya hilang, berganti geram seperti biasa.

Aku berandai-andai kalau saja sikapnya ini dilihat mahasiswinya, sudah pasti pandangan mereka tentang Ayah akan berbeda. Kecuali mungkin mahasiswi dengan IQ tengkurap, alias pemuja good looking. Mereka akan tetap menganggap Ayah sebagai sosok sempurna.

"Ayah tenang saja," jawabku dengan suara kecil. "Saya pastikan nggak ada yang tahu."

Dia mengangguk takzim.

"Aku mengawasimu. Jagalah nama baik keluarga," sambungnya. "Sampai mereka tahu kamu gila, awas saja!"

Ayah menjauhkan diri dari kupingku, kemudian kembali bersikap santai.

Luka LucaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang