Aku kalah. Tapi tak masalah.
____
Aku berandai-andai, kalau saja kehidupanku dijadikan novel dan penulisku baik hati, barangkali aku bisa mendapat ending yang baik. Sekarang aku sudah berdiri di gedung paling tinggi, persis seperti di bab pertama cerita. Kalau saja kulakukan ini sejak dulu, mungkin halaman-halaman kisahku tidak perlu lebih panjang lagi.
Well. Keputusanku sudah bulat. Aku mau pulang. Sebagai catatan, ini bukan bentuk impulsif. Berjam-jam setelah aku kabur dari acara Clarinna Campaign, keputusan ini semakin tidak memiliki kontra.
Dengan napas tenang, aku mendongak, menatap cakrawala. Langit tampak sehitam hidupku. Tidak ada bintang atau bulan. Hanya pekat tanpa cahaya.
Mungkin sebenarnya tidak ada yang salah dengan dunia. Pikirku sambil terus menatap ke atas. Kami hanya tidak cocok. Aku selalu merasa jadi korban, padahal di mata dunia biasa saja, malah cenderung aku yang terlalu perasa. Sekarang, bahkan di saat aku terpuruk pun, justru aku yang jadi penjahatnya. Jadi, ya sudahlah.
"Kenapa kamu nggak mati saja?"
...
"Aib dalam aib."
...
"Anak haram keparat tidak tahu diri."
...
"Lo nipu kami semua."
...
"No mercy for liars."
...
"Jangan pernah muncul lagi. Lo benar-benar sakit."
...
Kata-kata itu memenuhi kepalaku sejak tadi.
Mereka benar.
Semua tuduhan itu benar. Aku adalah kesalahan. Harusnya tidak pernah dilahirkan. Semua yang dilakukan adalah kekeliruan. Salah. Selalu salah. Tidak ada harapan lagi. Aku rusak. Tidak ada alasan untuk menunggu jemputan. Lebih baik pulang sendiri.
"Langsung, Luc?"
Gatan berdiri satu meter dari tempatku. Dia memberikan seratus persen dukungan atas apapun keputusanku. Untuk suatu alasan, wajahnya tidak seberani biasa. Ia seperti menyesuaikan diri.
"Mending lo lepas semuanya. Supaya kepulangan lo persis seperti kedatangan. Nggak bawa apa-apa kecuali raga."
Aku menuruti ucapannya. Kulepas semua yang melekat di tubuh, kecuali celana dalam. Angin yang berkesiur membuatku menggigil. Anak rambutku bergerak mengikuti embusan.
"Itu juga."
Aku menunjukkan wajah keberatan.
"Ngapain nyisain kolor doang? Lepas juga, dong."
Aku menimbang-nimbang. Akan sama saja menutupi area bawah atau tidak. Sama-sama mati dan bugil. Baiklah.
Akhirnya aku menuruti ucapannya. Kulepas sisa celana dalam. Kutaruh di samping hoodie yang berserak dengan kaus kaki, sepatu, dan ponsel. Udara semakin menusuk ketika aku kembali ke posisi awal. Saking dinginnya, aku berusaha memeluk tubuhku sendiri.
"Lumaya besar," kata Gatan sambil melihat ke arah pahaku. "Sayang banget nggak pernah dipakai di tempat yang seharusnya."
Aku menunduk dan memerhatikan benda yang masih diteliti Gatan. Embusan angin terasa lagi. Pelukan tangan di bahu kulepas. "Adik kecilku" lebih mudah kedinginan, aku lantas memeganginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Luca
Fiksi UmumWalaupun sangat ingin, Luca Abadi percaya dirinya tidak akan mati dalam waktu dekat. Seperti halnya hari itu, ketika sudah siap bunuh diri, Clarinna si presiden mahasiswa malah datang memergokinya. Perjumpaan itu membuat segalanya kacau--dalam versi...