Bahkan di saat terpuruk pun, aku tetap sendirian.
___
"Ini bukan sesuatu yang baik untuk disampaikan, tapi sebagai ayahnya saya merasa bertanggung jawab atas tindakannya barusan."
Aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi setelah aku muntah di panggung. Sekarang tahu-tahu aku sedang tersandar di brangkar. Aroma minyak angin menguar di sekitar. Kepalaku yang bergoyang mulai bisa dikendalikan. Ternyata aku masih di aula, tepatnya belakang panggung. Di posko kesehatan.
Menyadari sesuatu, aku lekas beringsut. Tapi gerakanku ditahan. Latin, Emmer, dan Ars. Mereka memblokadeku.
"Lo diam!" desis Emmer dengan mata memelotot.
Aku menggeleng, berusaha bangkit.
"Luc, lo sakit. Diam dulu!" sahut Latin.
Ars tidak bersuara. Mukanya masih tanpa emosi sejak perbincangan di luar aula tadi. Kemudian dari podium kudengar suara si Bandot Tua lewat mikrofon. Refleks aku beringsut namun lagi-lagi kaki tanganku dipegangi.
"Luca, anak saya, dia sakit, Bapak Ibu Sekalian."
Aku mengepalkan tangan, bisa kubayangkan wajah hadirin terlukis heran. Terdengar dari responsnya. Gumamam dan riuhan menjawab perkataan si Bandot Tua.
"Panick disorder, juga skizofrenia paranoid."
Aku membeku. Tubuhku dingin. Badanku tidak mampu kugerakkan.
"Apa yang dideritanya membuat tingkah lakunya sedikit berbeda."
Cukup! Cukup! Cukup!
"Dengan kerendahan hati, saya meminta maaf karena kalian terpaksa melihatnya secara langsung. Sungguh, saya tidak menyangka dia akan kambuh di saat seperti ini."
Jeda untuk sekian detik.
"Skizofrenia membuat penderitanya bisa merasa, mendengar, dan melihat segala hal yang sebenarnya tidak terjadi. Luca meyakini dirinya selalu dipukuli, dijauhi, dan dibeda-bedakan. Kami belum tahu pasti apa yang membuat Luca bisa seperti ini. Tapi mungkin yang dialaminya ini murni salah saya sebagai orang tua.
"Saya terlalu sibuk dengan anak-anak yang saya didik di luaran sana. Bisa kalian bayangkan? Ratusan bahkan mungkin ribuan mahasiswa telah saya didik, mereka lulus dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tapi ternyata anak saya sendiri justru lebih membutuhkan saya. Rupanya kasih sayang yang saya berikan masih sangat kurang."
Aku menyahut, "Dia bohong!" Tapi tidak satupun yang merespons.
"Sekali lagi saya minta maaf atas sedikit kekacauan tadi. Saya harap semua yang ada di sini bisa memaklumi anak saya."
"Bacot lo, Surya!" Aku berteriak. "Pembohong sialan! Keparat! Lepasin gue Ars! Dia bohong!"
"Bisa kalian dengar? Seperti inilah kalau Luca kambuh. Dia akan meracau bahkan terkadang merusak barang. Yang paling parah adalah pekan lalu. Dia menganggap saya penjahat. Apa tadi katanya? Dosen cabul yang menghamili mahasiswinya." Suara si Bandot Tua sungguh memuakkan. Nadanya terkesan seperti orang sakit keras. Penuh beban. "Sebagai bahan sharing, izinkan saya menunjukkan sesuatu."
Perasaanku tidak enak. Beberapa detik berselang. Tiba-tiba saja aku mendengar audio berputar.
"Mati anjing! Mati! Matiii."
...
"Aaarrrgghhhh!"
....
"Mati kau bangsat!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Luca
Fiksi UmumWalaupun sangat ingin, Luca Abadi percaya dirinya tidak akan mati dalam waktu dekat. Seperti halnya hari itu, ketika sudah siap bunuh diri, Clarinna si presiden mahasiswa malah datang memergokinya. Perjumpaan itu membuat segalanya kacau--dalam versi...