Ulang tahun setiap hari karena dikasih "surprise kehidupan" setiap hari.
_____
Keesokan harinya, perasaanku tidak kunjung membaik. Pagi hari, tepatnya ketika aku sedang mencukur kumis, si Bandot Tua menyinggung lagi soal jadwal kontrol. Kalau saja aku lebih berani, sudah kukuliti wajahnya menggunakan silet di alat cukurku. Tapi tidak. Nyaliku masih kerdil. Alhasil, aku hanya mengangguk kaku.
Dadaku bergemuruh sepanjang perjalanan ke kampus. Bukan saja karena akan menghadapi kuis pagi, tapi juga Clarinna. Aku takut berjumpa dengannya (lagi). Aku takut dia membocorkan informasi tentangku yang mengunjungi psikiater.
Aku sudah menelan ativan untuk jaga-jaga. Tapi keringatku tetap membanjir di balik hoodie. Kumasukkan tangan ke saku baju hangatku. Kepalaku terus menunduk seakan-akan di bawah sana ada emas seribu karat.
Pagi ini jadwal kuis Elektronikmagnetik. Beberapa orang yang tidak kutahu namanya sudah datang. Mereka berdiskusi dan berlatih soal. Kulihat beberapa meja sudah ditandai oleh berbagai benda——botol minum, tempat pensil, dan buku. Uh, betapa senangnya kalau punya teman. Bisa reservasi tempat duduk dan mengatur strategi saat kuis.
Karena sisa kursi kosong tidak banyak, aku memilih meja paling depan. Karan mendadak muncul di hadapanku, tidak memakai alas kaki. Ia tampak resah sambil membuka buku catatan dan menyebut berbagai rumus untuk kuis hari ini. Gatan tidak hadir, cowok itu sedang tidur dengan pacarnya.
Pukul setengah tujuh tepat. Dosenku datang. Miss Happiness Killer tetap duduk di meja dosen, kali ini meneriakkan rumus-rumus lebih keras.
Soal dibagikan. Kuis dimulai.
Aku menyelesaikan lima soal uraian kurang dari satu jam. Ini entah curang atau bukan, tapi aku banyak dibantu Karan. Terutama di bagian rumus. Dua kali aku mengganti rumus fluks listrik ke fluks medan pergeseran listrik. Tidak lupa Karan mengingatkanku terkait satuannya. Apakah joule atau
joule meter per coulomb.Untuk sementara fokusku pada Clarinna teralih. Sial beribu sial, keluar dari kelas Elektronikmagnetik keresahanku muncul lagi. Seharian itu aku dilanda panik yang menyiksa. Dua kali aku aku harus bersembunyi di toilet untuk menetralkan napasku.
Akhirnya tiga hari berlalu.
Keresahan yang mencekikku perlahan mengendur. Semua masih sama. Aku aman dari teror-teror yang terjebak di benak. Tidak ada tatapan miris, tidak ada yang tahu aku menjalani terapi.
"Mana yang namanya Luca Abadi?"
Pertanyaan itu muncul di hari Sabtu, tepatnya ketika aku menghadiri kuis Mikroprosesor. Beberapa saat lalu dosenku menghampiri pintu yang diketuk. Kukira mahasiswa yang telat. Kasihan, bisa kena sembur dia. Tapi ternyata yang datang justru menanyakan kehadiranku.
"Luca Abadi. Yang mana?"
Jantungku berdebar tidak karuan. Aku mengangkat tangan gemetar. Semua mata terasa menusukku. Membuatku merasa seperti de javu. Teringat momen berisikan gelak tawa dan ponsel-ponsel mengabadikanku saat aku membacakan puisi——yang dikira surat cinta.
"Luca, tolong ikut Bapak sebentar."
Aku baru sadar yang ingin menemuiku adalah dosen waliku, Pak Baim. Pria itu berbisik pada dosen mikroprosesorku. Langsung saja perasaanku mengarah pada kemungkinan terburuk. Tapi apa?
Jangan-jangan Clarinna. Lututku mulai bergetar naik turun. Clarinna mengadukanku karena telah bersikap kasar. Astaga, jangan-jangan dia sudah bicara soal psikiater juga. Bagaimana ini?
"Langsung bawa semua barangmu," Dosenku berkata ketika aku beringsut. "Kamu ikut kuis dengan kelas lain. Siang atau sore hari ini, sesuaikan dengan jadwalmu."
![](https://img.wattpad.com/cover/327377285-288-k548794.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Luca
Художественная прозаWalaupun sangat ingin, Luca Abadi percaya dirinya tidak akan mati dalam waktu dekat. Seperti halnya hari itu, ketika sudah siap bunuh diri, Clarinna si presiden mahasiswa malah datang memergokinya. Perjumpaan itu membuat segalanya kacau--dalam versi...