Tawaran

586 168 60
                                    

Bunuh diri mungkin bisa mengakhiri kesakitan sang pelaku, tapi dampak buat orang-orang di sekitarnya jauh lebih menyakitkan.

_____

"Oi, Luc."

...

"Pagi, Luca."

...

"Halo, Luca."

...

"Sendirian saja, nih, Luc?"

...

"Luc, minta tolong ajarin bagian ini, dong."

...

"Kita satu kelompok, yuk, Luca."

...

"Luc, engstragam sama kwitter lo apa namanya?."

...

"Eh, Luc, makan siang bareng kami, ya."

...

"Luc, weekend ini join kongkow, yuk."

...

"Bye, Lucaaa. Sampai ketemu besok."

...

Aku duduk di depan gedung serba guna dengan langkah tertatih. Kenapa akhir-akhir ini melelahkan sekali, ya? Padahal tidak ada kelas maupun praktikum tambahan. Ini juga baru hari Senin tapi sisa bateraiku sudah menginjak dua puluh persen.

"Kami turut bersuka cita atas dikenalnya Luca Abadi oleh seantero kampus."

Aku menoleh ke samping kanan. Gatan duduk dengan santai sambil menenggak susu tinggi protein. Dia memakai kaos oblong dan celana selutut. Rambut depannya menjambul ke atas. Ada kacamata hitam trendi yang bertengger.

Karan duduk di sisi lain, yang seperti biasa membuat posisiku berada di antara mereka. Hari ini Karan memakai dress putih. Kakinya telanjang hingga membuat remah tanah menempel di sana. Rambutnya belum disisir sejak pagi tadi.

"Gimana rasanya diketahui bahwa lu ada?"

Pertanyaan Gatan membuat bahuku mengendik. Di satu sisi aku merasakan sensasi luar biasa, tapi di sudut lain aku pun cukup terganggu lantaran harus mengeluarkan energi besar. Begitu melelahkanya harus berinteraksi dengan orang-orang walau sekadar menaikkan alis——saat berpapasan.

Sekarang orang-orang menyadari bahwa aku ini ada. Dan harus kuakui, semuanya gara-gara perkenalanku dengan teman-teman Clarinna. Latin dan Ars.

Keduanya merupakan pendongkrak keeksisanku. Mereka ——eh, ralah maksudnya hanya Latin ——senantiasa menyapaku kalau kami bersua. Itu memperkuat dugaan bahwa aku memang teman Clarinna. Bahwa aku ini nyata. Bahwa aku bukanlah pengisi absen tujuh belas semata!

Ke manapun aku bergerak, minimal ada satu orang yang menyapaku. Menaruh atensi padaku. Memanggil namaku!

"Lo pasti sudah nggak mau berteman dengan kami," cetus Karan murung.

"Nggak. Kalian tetap teman gue."

"Alah, bentar lagi juga kami tersingkir."

Aku berdecak. "Jangan ngomporin gitu, Gat. Lo berdua masih yang terbaik."

"Tapi gue senang, kelihatannya Luca jadi lebih bergairah nyambut hari baru," kata Karan seraya memutar-mutar ujung rambut.

"Tinggal nunggu bergairah dalam anu-anu. Iya, nggak, Bro?" Gatan terkekeh sambil tersenyum menggoda. Susu proteinnya berganti menjadi apel merah segar.

Luka LucaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang