Sesuanu

500 167 46
                                    

Katanya, lakukanlah sesuatu tanpa ngarepin apapun, supaya terbebas dari rasa kecewa.

Sekarang aku sudah hidup tanpa harapan.

Dan aku malah semakin ingin mati.

____

"Lo yakin nggak mau cerita?"

Latin bertanya ketika aku mengantarnya sampai depan indekos. Seperti jadi rutininas, kalau kami kemalaman, aku pasti mengantarnya terlebih dahulu. Ars sudah memesan ojek tadi, jadi aku tidak khawatir.

"Luc, ayolah, bukan hal salah kalau lo ngeluh."

"Gue oke."

"Tapi mata lo bilang nggak."

Aku mengembus napas.

"Sorry bukan mau ikut campur tapi ... " Latin meraih tanganku. Untuk sekian kali dia menggenggamnya tanpa merasa jijik. "Dulu Clar kayak lo. Beberapa kali kedapatan murung tapi selalu bilang oke."

Aku melepas genggamannya dengan pelan kemudian berkata, "Murung?"

"Kalau sendirian," jawabnya dengan wajah sendu. "Perubahan wajahnya cepat banget kalau dia ketemu orang. Andai gue yang tolol ini sadar dia lagi hancur, mungkin keadaannya bisa ketolong."

Aku merasa ditampar, perasaanku memburuk. Aku sudah terlalu jauh dalam perjalanan ini. Kepergian Clarinna kumanfaatkan untuk membalikkan kehidupanku yang busuk. Dengan mengabaikan perasaanya di hari-hari terakhir, aku alfa bahwa aku kerap berada di posisinya.

"Luc, sekali lagi gue tanya, Pak Surya sering kasar sama lo?"

"Nggak."

"Tapi tadi siang —— "

"Bisa kita bahas hal lain?"

Dia diam. Hening mulai menguasai. Hanya suara dari bangunan sebelah yang terdengar. Itupun sayup-sayup.

Aku tidak berani buka suara terkait kelakuan si Bandot Tua. Bukan saja takut diamuk, aku pun percaya hal itu tidak ada gunanya. Mereka pasti lebih memihak si Bandot Tua, ketimbang aku yang tidak berguna ini. Aku sudah mengalami beberapa hal mengerikan, dan yang paling parah adalah menaruh harapan.

Bertahun-tahun aku berharap si Bandot Tua bisa berubah. Ibu bisa memaafkanku. Kak Gista dan Bang Jona memperlakukanku layaknya adik. Mama Maya ingat siapa aku.

Semakin dewasa akhirnya aku sadar semua harapanku sia-sia. Entah kapan pastinya aku hidup tanpa harapan begini, yang pasti hari-hari terasa gelap dan berat. Aku mau mati, eh, menghilang saja.

"Gimana persiapan puisinya?" Latin memecah hening. Kaca-kaca sudah tidak menjejak di matanya. Ia bahkan bisa tersenyum ketika menanyakan soal puisi.

"Masih gue cari-cari lagi."

"Nggak sabar lihat lo tampil."

Kenyataan itu membuat lambungku bergejolak lagi. Uh, membayangkannya saja membuatku mual. Mengesalkan sekali! Aku trauma membacakan puisi di depan orang-orang, tahu!

"Gue boleh nolak nggak, ya?"

"Kenapa?"

Aku menggaruk tengkuk. "Kayak nggak penting saja. Buat apa gue bacain puisinya Clarinna?"

"Lo yang paling tahu perasaan Clar. Lo bisa mewakili dia, Luc."

Aku mengembus napas berat.

"Tapi jangan jadi beban," tambah Latin. "Gue percaya lo sudah bekerja keras demi Clar. Makasih, ya."

Aku menggeleng.

"Lo mahasiswa kupu-kupu tapi jadi kura-kura. Lo suka kesendirian tapi tetap mau ketemu kami. Lo nggak suka jadi center of attention tapi lo terus nyesuain diri."

Luka LucaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang