Es Krim Hijau

543 162 70
                                        

Nggak mau hidup, bukan berarti pengin mati.

___

Duduk di kursi dekat jendela. Kepala menyandar ke kaca. Kuping disumpal earphone. Kalian pernah merasakan posisi itu? Mengakulah, berasa jadi tokoh utama, bukan?

Aku tidak akan menertawakan anggapan itu, tenang saja. Soalnya ada yang lebih konyol menurutku. Yakni, orang-orang yang berkhayal sedang syuting video klip. Pfft!

Aku salah satunya.

Gerard Way sedang melantunkan Teenagers lewat earphone-ku. Aku membayangkan menjadi dirinya. Seorang vokalis berambut abu-abu dengan kostum tengkorak. Aku bernyanyi di hadapan jutaan orang. Jari tengahku terangkat, kemudian aku mengencingi penonton sambil tertawa.

Teenagers scare the livin' shit out of me

They could care less as long as someone'll bleed

Aku menahan diri untuk tidak bernyanyi keras-keras. Nanti orang-orang tahu aku gila——seperti kata keluargaku. Jadi sebisa mungkin kutahan diri untuk terlihat cool.

Sudah berjam-jam sejak aku meninggalkan klinik Dokter William. Bisa dikatakan aku memutari Jakarta seharian ini. Beberapa jurusan transjakarta kunaiki, dari sana ke sini. Kalau pakai angkutan lain sudah pasti dompetku jebol. Tapi ini transjakarta! Saldo kartuku tidak akan terpotong selama aku turun di halte transit kemudian naik bus baru.

Malam sudah cukup larut. Tidak banyak penumpang di besi berjalan yang sedang kunaiki. Aku mencoba menengok ke luar. Ini bukan lokasi yang kukenali, tapi lewat beberapa plang informasi, aku tahu jarakku dengan rumah sekitar 20 kilo meter.

Aku mengurangi volume earphone. Kudengar petugas menginfokan bahwa halte terakhir akan segera dimasuki. Periksa kembali barang bawaan Anda. Jangan sampai tertinggal atau tertukar. Mohon perhatikan kembali barang berharganya.

Begitu bus berhenti, aku memutuskan untuk turun bersama sisa penumpang lainnya. Aku mendekati papan informasi dan menekuri perjalanan berikutnya. Namun, Belum sempat kuputuskan, hoodie-ku tiba-tiba ditarik seseorang. Aku mendongak dan terkejut.

"Luca, ini beneran lo, kan?"

Aku ingin menepis tangan Ars yang masih mencengkeram kain hoodie-ku. Tapi niat itu kukubur saat menyaksikan penampakannya. Ars sungguh beda dari biasanya. Selain tidak memakai atribut Manchester United, penampilannya membuatku pangling. Rambut pendeknya lepek, wajahnya kucel, dan sudut matanya lembap. Dia seperti habis mengarungi padang pasir.

"Ngapain di sini?" tanyaku seraya melepas earphone.

Aku membatu ketika dia tiba-tiba memelukku. Beberapa orang yang lalu lalang sempat terdistrak menyaksikan kami. Sebagian di antaranya menatap risi, juga geleng-geleng kepala. Seakan aku adalah perusak generasi muda lantaran pelukan di tempat umum.

Aku ingin sekali mendorong Ars tapi dekapannya erat sekali. Amboi. Sekarang dia tergugu di dadaku. Air matanya menetesi hoodie. Astaga, jijik sekali! Aku harus mencuci saat pulang nanti.

Entah berapa menit berlalu. Ars akhirnya berhenti terisak. Dia juga melepasku. Sesenggukannya masih bersisa. Dia tampak lebih kacau sekarang. Jika tadi mengarungi padang pasir, mungkin sekarang Padang ke Morowali jalan kaki.

"Kenapa?" tanyaku hati-hati.

"Gue ... nyasar. Hiks."

Caranya menjawab membuatku lupa bagaimana profil Ars yang kutahu. Dia bukan lagi si nona galak nan kritis. Dia bocil nyasar. Dan cengeng.

"Ada yang ngapa-ngapain selama nyasar?" tanyaku lagi seraya memasukkan earphone ke ransel. Dia menggeleng, kini tangisnya benar-benar reda. "Terus kenapa nangis?"

Luka LucaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang