Kok, orang-orang pada bisa mati muda, ya?
____
Jangan lupa kunjunganmu dengan Dokter William
Pesan yang harusnya kubaca sejam lalu itu dikirim oleh Ayah. Tadinya ingin kuabaikan. Tapi kalimat berikutnya membuatku terpaksa mengacuhkannya.
Kuharap kunjungan hari ini berprogres. Jadi seriuslah sedikit. Anakku sehat semua.
Aku menelan ludah, kemudian terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Kalau saja aku punya nyali lebih besar, sudah pasti kubalas pesan itu sesuai kehendakku. Bacot lu bandot tua. Diam dulu napa! Yah, tapi apa daya. Anak haram sepertiku tampaknya tidak dikaruniai nyali.
Ada yang bilang, sebelum dilahirkan ke dunia, ruh kita diperlihatkan semua perjalanan kehidupan. Saat merasa sanggup maka si ruh akan menyetujui, lantas lahirlah kita ke dunia. Jika bisa mengirim pesan kepada ruhku, ingin sekali kubilang : dasar ruh tolol!
Sudah kubilang, aku sangat ingin mati. Tapi katanya bunuh diri itu dosa. Konyol juga rasanya. Aku mencoba bertahan hidup dan terbebas dari dosa bunuh diri, tapi di sisi lain aku juga menuai dosa karena terus memaki Tuhan soal kekocakannya menciptakanku.
Aku sering berandai-andai, kalau saja perempuan yang mengandungku bisa sedikit lebih cerdas, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Ketika dinyatakan hamil padahal dia sedang repot skripsi, kemudian pria yang menceburkan benihnya tampak tidak mungkin digapai, seharusnya dia aborsi saja. Bukan malah mendesak minta dinikahi. Kalau waktu itu dia aborsi, aku tidak perlu susah-susah selama hampir dua puluh tahun terakhir ini.
"Nope. Mama Maya ngelahirin lo karena dia sayang." Suara Karan menyadarkanku. Kenalkan, dia salah satu teman terbaikku. Lingkaran Semesta. Terkadang aku memanggilnya Karan atau Miss Happiness Killer. Super pemalu dan sering cemas, namun paling bisa diandalkan kalau aku "kambuh".
"Aduh, Kar, perlu banget iming-imingi si Luca dengan kebohongan gitu?" celetuk Gatan, cowok di sebelah kananku. Dua temanku biasa menempatkanku berada di tengah-tengah. Membiarkanku terombang-ambing dalam ocehan mereka. "Dalam persahabatan, kejujuran itu nomor satu."
"Iya, memang," kata Karan sementara kami masih berjalan. "Tapi coba lo pikir, Gat. Apa alasan ibunya Luca tetap ngelahirin dia kalau bukan karena sayang?"
"Uang? Ketenaran? Masa depan Luca yang lebih cerah ketimbang dibesarin single mother?"
Miss Happiness Killer mengerucutkan bibir, matanya berputar satu kali. Kemudian, tanpa diduga, Gatan merangkulku. Lengannya yang berotot langsung membuat pundakku berat.
"Eh, lo lagi chat sama si Surya?" kata Gatan seraya memerhatikan ponselku. Tanpa tedeng aling-aling ia merampas dan menunjukkannya ke hadapan Karan. Aku berusaha merebut tapi tangan Gatan terlalu kuat. Ia bahkan menarik penutup hoodie-ku hingga kepalaku tertutup.
"Najis banget si Surya," sahut Gatan ketika aku membetulkan tudung hoodie. "Tolol banget jadi bokap."
"Tapi dia dosen yang keren."
Gatan menoleh sengit dan mengembalikan ponselku. Suara Karan itu cuma bisikan, aku yakin. Tapi entahlah, kami berdua bisa mendengarnya dengan jelas.
Kalau dilihat sekilas, Ayah memang keren. Dosen kesayangan dengan pengalaman mengajar puluhan tahun. Dia sering dapat predikat ter-ter-ter dari dinas pendidikan. Percaya atau tidak, di umurnya yang sekarang, dia masih tampak gagah dan berwibawa. Kudengar, dari dulu mayoritas pengemarnya adalah mahasiswi.
Salah satu penggemarnya adalah mahasiswi semester tujuh. Bukan yang paling cantik, tapi tetap memikat. Dia aktif di organisasi. Nilainya masih di garis rata-rata. Juga, dia kerap ikut andil jika ada aksi demokrasi jalanan.
Sayangnya, dia terlalu tolol untuk menolak pesona Ayah. Akibat ulahnya itu, terciptalah aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Luca
General FictionWalaupun sangat ingin, Luca Abadi percaya dirinya tidak akan mati dalam waktu dekat. Seperti halnya hari itu, ketika sudah siap bunuh diri, Clarinna si presiden mahasiswa malah datang memergokinya. Perjumpaan itu membuat segalanya kacau--dalam versi...