Dihantui

476 159 34
                                    

Lihat, bintang jatuh!

Wahai bintang, buatlah aku lenyap tanpa jejak, kumohon. Buatlah supaya tidak ada yang sadar keberadaanku, tidak ada yang tahu aku pernah ada.

___

Banyak hal terjadi di luar ekspektasi.
Salah satunya hubunganku dengan Ars. Tidak pernah kubayangkan bisa akrab dengan cewek berambut seleher itu. Dulu, jangankan membayangkan. Ditawari saja pasti seratus persen kutolak.

Sejak hubungan yang membaik, komunikasi kami jadi makin sering. Pembahasannya di luar Clarinna Campaign. Kadang dia cerita soal saudara-saudaranya, lebih sering tentang hari yang baru saja dijalani. Dan sialnya, ini seperti menjadi ketergantungan juga. Aku selalu menanti-nanti pesannya. Candu terhadap apapun yang ingin dia bagi. Resah kalau sehari saja tidak ngobrol. Dan ... sedikit kesal kalau dia mengunjungi sekre teater.

Terlalu cepat kalau bilang aku jatuh cinta padanya. Hanya saja, mmm, bagaimana menjelaskannya, ya? Ini pertama kalinya aku merasakan hal seperti ini terhadap perempuan. Nyaman. Ya, kurasa itu padanan kata yang tepat. Aku nyaman jika bersamanya.

Bersamaan dengan si nyaman itu, aku pun kerap dihantui rasa bersalah. Semakin aku mendambakan kenyamanan, semakin aku merasa takut. Pada saat tertentu aku benci diriku yang tidak kunjung jujur. Tapi aku benar-benar tidak sanggup menerima kemungkinan terburuk.

"Woy, Lucaaa."

Aku terkesiap ketika suara Ars menggema di ponsel yang volumenya kukencangkan.

"Sorry, sampai di mana kita?" Walau tidak ingat sama sekali topik apa yang kami obrokan, tetap kutanyakan itu pada Ars.

"Goban buat Emyu." Ars berujar seraya tersenyum menantang.

"Niatnya cuma nonton. Bukan taruhan."

Dia cemberut sambil menyipitkan mata. Aku berusaha tidak gentar meski kupu-kupu terasa betebaran di perut.

Malam ini Manchester United lawan Liverpool. Kami janjian nonton di kamar masing-masing dengan video call yang tersambung. Sejak menghubungiku sepuluh menit lalu, Ars tampak optimis. Dia mengenakan jersey kebanggaannya.

Walau saat ini peringkat Setan Merah tiga di atas Liverpool, instingku bilang Emyu bakal kalah. Dalam lima laga terakhir lawan The Reds, terhitung tiga kali Manchester United keok. Lagi pula klub jago kandang begitu sudah pasti habis di Anfield hari ini.

"Nggak asyik kalau nggak taruhan. Seadanya lo saja, deh."

Aku menggeleng.

Dia mendengus sebelum akhirnya fokus ke layar lantaran pertandingan sudah dimulai.

Dia begitu ekspresif sepanjang laga berlangsung. Saking berisiknya, Mbak Milan datang menegur. Kakak perempuannya itu menyadari ada aku di sambungan video call, sehingga sempat menyapaku. Mengundang makan lagi kapan-kapan.

Semakin lama aku gagal fokus pada pertandingan. Ars lebih menarik kuperhatikan. Ketika dia mengeluh lantaran kebobolan keempat kalinya, aku mendesah dalam hati. Tuhan, bolehkah aku bohong terus? Aku nggak siap kehilangan semua ini.

*
*
*

Sekali lagi kuungkapkan. Banyak hal terjadi di luar ekspektasi.

Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi Emmer, Latin, dan Ars menatapku dengan geram di keesokan harinya.

Aku memandang dengan cepat dan membatu. Di belakang mereka terlihat layar laptopku yang menyala. Aplikasi pengedit foto terbuka sempurna. Potongan chat palsuku terpampang. Buru-buru aku berlari ke sana sambil berdumal, Luca, tolol! Kenapa nggak sadar belum matiin laptop?

Luka LucaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang