They told me all of my cages were mental
So I got wasted like all my potential
And my words shoot to kill when I'm mad
I have a lot of regrets about that
____
Aku berjalan gontai dan menaruh tasku di dekat kasur. Tanpa melepas hoodie, aku langsung merebah di pembaringan. Menatap lurus ke langit-langit.
Walaupun pertanyaan utama belum terjawab, setidaknya aku punya sedikit gambaran. Clarinna pernah mencari tahu siapa Mama Maya dan aku. Tulisan di buku terakhirnya masih sebatas keterangan singkat, yang dengan kata lain dia belum terlalu jauh. Pertanyaannya, kenapa dia melakukan itu?
Yang paling mungkin menjadi benang merah adalah si Bandot Tua. Aku jadi ingat, di pertemuan pertama kami saat di atap, Clarinna langsung menembakku dengan pertanyaan "Anaknya Pak Surya?" Padahal sebelumnya tidak ada yang tahu hal itu. Jadi, untuk sementara, yang bisa kuyakini adalah adanya sesuatu antara dia dan si Bandot Tua. Entah apa, yang pasti kecurigaanku mengarah pada hal buruk. Setelah aku menemukan kepingan puzzle lain, barangkali semuanya akan bias.
Eh, tnggu.
Tunggu dulu.
Kenapa aku perlu mencari kepingan puzzle? Clarinna bukan siapa-siapa untukku, lagi pula orangnya sudah pergi. Tidak ada keuntungan apapun jika aku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan si Bandot Tua.
"Kalau nggak ada Clarinna, lo sudah mati, Luc. Terjun di hari itu," kata Karan yang kini merebah di kasur.
"Gara-gara Clarinna juga lo bisa tahu rasanya makan di meja makan bareng ortu," Gatan menambahkan. Dia menyandarkan pinggang ke meja belajar. "Lo juga jadi tahu rasanya punya kegiatan selain kuliah, punya organisasi, punya teman, dan paling utama ... punya gebetan."
"Ars bukan gebetan."
"Tapi calon pacar, ya."
Gatan mengajak Karan toast, gadis yang biasa murung itu menyambut antusias.
"Ars tadi ada di sanggar tapi nggak nyapa gue," kataku.
Astaga, bodoh! Karena terlalu fokus mencari tahu soal Mama Maya, aku baru sadar Ars mengajakku bicara tapi kuabaikan. Buru-buru kuambil ponsel dan kucari kontaknya.
Ternyata pesanku semalam belum dibalasnya. Mungkin dia lupa, ya. Aku lantas menyambungkan telepon, menunggu dengan harapan segera diangkat. Karena tidak kunjung tersambung, kuputuskan mengirim chat lagi.
Ketika statusnya online, aku menunggu harap-harap tolol. Kemudian saat berubah offline, aku menghela napas kecewa. Hal itu muncul berulang kali. Entah kenapa Ars tidak kunjung membalas padahal aku sudah menunggu setengah jam lebih.
"Nggak apa-apa, Bro. Coba lagi nanti."
Aku menaruh ponsel di meja belajar. Perasaan diabaikan ini mengusikku. Aku merasa jengkel karena Ars tidak membalas pesan dan telponku.
*
*
*Hari-hari berlalu.
UAS membuatku sedikit terdistrak akan beberapa perkara. Soal Clarinna dan si Bandot Tua, ketakutan kedokku terbongkar, pentas, bahkan acara tunangan Bang Jona.
Selama UAS, Clarinna Campaign hanya menggelar rapat seminggu sekali. Karena aku melanggar janjiku soal tenggat puisi, akhirnya Emmer menulis sendiri. Sungguh menyebalkan! Puisi yang harus kukumandangkan itu benar-benar tidak bagus.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Luca
Tiểu Thuyết ChungWalaupun sangat ingin, Luca Abadi percaya dirinya tidak akan mati dalam waktu dekat. Seperti halnya hari itu, ketika sudah siap bunuh diri, Clarinna si presiden mahasiswa malah datang memergokinya. Perjumpaan itu membuat segalanya kacau--dalam versi...