Pilihan

522 157 83
                                    

Jadi aku itu mudah, kok. Kayak lagi naik sepeda. Tapi lintasannya terbuat dari api, bannya juga dari api, dudukannya dari api, semua dari api karena sejatinya kamu lagi berada di neraka versi trial.

Canda.

___

756 new chats, 30 missed calls

Wow. Aku tidak pernah dapat notifikasi sebanyak ini. Makanya aku kaget.

Ponselku baru kembali setelah seminggu disita si Bandot Tua. Catatan tambahan, bukan cuma ponsel. Aku pun dikurung di kamar oleh pria itu seminggu penuh.

Perintahnya yang kuabaikan——untuk tidak kelayapan setelah dari Dokter William—— rupanya bukan gertak sambal. Dia marah besar. Setelah menyiramku di pagi buta, dia menyeretku ke gudang. Menghajar, menginjak, membanting, memecut. Tidak banyak yang kuingat hari itu. Yang pasti, setelahnya badanku ringsek.

Lukaku juga lebih banyak dari biasanya. Pipi kiri masih bengkak, seperti orang sakit gigi. Sudut bibir juga robek, tapi untungnya luka di bagian ini mulai kering. Yang paling meresahkan adalah mata kiri. Bercak keunguan masih tampak di sana, ada sisa darah juga di bagian dalam.

Semua luka tadi cuma yang kelihatan. Kalau kubuka baju, pasti ada lebih banyak lagi. Soalnya si Bandot Tua mencambuk punggungku juga menggunakan ikat pinggang. Sinting memang!

Tapi meski demikian, aku berusaha mengambil hal baik dari kejadian ini. Yep, bolos. Aku dibolehkan diam di rumah sampai lukaku sembuh! Sebelum memeriksa ponsel, aku sempat khawatir karena absen berhari-hari. Tapi setelah cek hape, baru ketahuan ternyata si Bandot Tua memberitakan diriku mengalami kecelakaan.

Ratusan notifikasi yang masuk  bunyinya sama. Semoga lekas sembuh, Luca. Semua pesan itu kubalas dalam hati. Terima kasih, kawan-kawan. Physically, I'm totally okay. But mentally, almost die.

Ketukan pintu menyadarkanku. Aku bergegas ke sana, merasa yakin bahwa si pengetuk seratus persen bukan orang yang kutakuti. Yang paling mungkin adalah Mbok Ratih. Pasti dia mau menawariku makanan layak. Soalnya seminggu ini cuma makan sehari sekali. Roti keras pula. Ngentod memang si Bandot Tua!

"Kuskus!"

Dugaanku salah. Imah yang tegak di hadapanku. Dia menatapku dengan serius. Mulutnya melengkung cemberut.

"Ibuuu." Dia tiba-tiba menangis. "Kukus kasihaaan. Berdarah. Tolong, Buuuuu."

Suaranya menggema di rumah yang sepi ini. Tangannya meraba-raba di udara ke arah wajahku. Air matanya terus berjatuhan.

"Ssst, jangan nangis," aku berbisik. "Ini sama sekali nggak sakit."

Imah masih memanggil-manggil Mbok Ratih (Buuuu, tolongin Kuskussss!). Percuma aku membujuknya untuk diam, wanita berdaster belel itu masih saja meraung-raung.

Aku tertegun saat menyadari sesuatu. Rasanya suara Imah ini tidak asing. Aku sering mendengarnya. Terutama kalau aku sedang dipukuli. Saat disiksa, kukira hanya waham di alam bawah sadar. Sekarang, ketika mendengarnya secara langsung, aku sadar Imah-lah yang mengeluarkan suara-suara ngeri itu.

Dia pasti tidak nyaman melihat adegan kekerasan. Sungguh lelucon. Orang dengan gangguan jiwa saja bereaksi, kenapa justru orang-orang normal di rumah ini cuma diam? Ibu, Kak Gista, Bang Jona, supir, bahkan Mbok Ratih. Mereka lebih memilih tidak ikut campur.

Oh, tentu saja.

Aku tidak begitu berarti. Tidak berkontribusi apapun pada kehidupan mereka. Berbeda dengan si Bandot Tua. Dompetnya teramat berjasa mengucurkan dana.

Imah masih menangis. Aku menghela napas. Tangisnya ini membuatku sesak. Aku sudah sangat tidak tahan, tapi kalau kubiarkan Imah seorang diri di dunia ini, rasanya tidak tega juga.

Luka LucaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang