Jangan sampai masuk neraka jalur bohong, tiap ditanya "kamu kenapa" jawabnya "aku nggak apa-apa"
___
"Kamu yakin nggak mau nginep?"
"Sebaiknya nginep saja, Luc. Besok pagi Om antar pulang."
Aku menggaruk tengkuk. Pura-pura bimbang. Aku ingin sekali tinggal beberapa jam lebih lama, bahkan kalau perlu, hari. Tapi kalau kutunjukkan diri seperti itu, mereka bisa curiga. Rasanya terlalu mencolok kalau aku langsung mengiyakan.
Waktu akan terasa singkat jika kita menikmatinya. Well, untuk sekarang aku percaya anggapan tersebut. Pasalnya, setelah ngobrol di kamar Clarinna, jam melenggang sangat cepat. Tahu-tahu sekarang sudah pukul sebelas.
"Gimana caranya kalian kenal?" tanya Tante Rachel tadi. Tepatnya setelah puas menangis.
"Kami pertama kali ngobrol di atap kampus."
Mata Tante Rachel langsung membulat resah. Instingku mengatakan tidak baik jika aku mengakui hari itu hendak bunuh diri.
"Kami sama-sama suka puisi dan gambar. Jadi waktu itu kami ngobrol singkat."
Mengarang sedikit boleh, lah.
"Sejak kapan Clar hobi puisi dan menggambar, Luc?"
Aku meneguk ludah terlebih dahulu. Oke, aku salah langkah. Setiap pernyataan akan direspon dan dikaitkan dengan validasi soal Clarinna di mata mereka. Aku harus hati-hati.
"Dikatakan hobi kayaknya nggak juga," kataku mencoba tenang. "Tapi Clarinna cukup antusias waktu ngebahas itu."
"Kalian sering ketemu di atap kampus?"
Aku menjilat bibir bawah. "Ya."
"Apa ... apakah atap gedung itu tempat khusus kalian buat ketemu?" tanya Tante Rachel.
Aku diam sejenak, berpikir. Memasuki kawasan rooftop kampus memang tidak mudah. Tempat itu selalu terkunci atas alasan keselamatan. Hari itu aku bisa ke sana karena beruntung. Seminggu sebelumnya petugas kebersihan lengah ketika bekerja di sekitar lorong. Tidak sadar bahwa aku mencuri salah satu kunci.
"Bisa dibilang begitu," kataku. Memaktubkan diri bahwa ke depannya, ceritaku harus konsisten.
"Jadi itulah alasan nggak ada satupun yang tahu pertemanan kalian?"
"Ya, begitulah," kataku. "Pertemanan ini memang cuma kami yang tahu."
"Kenapa begitu?" Tante Rachel menatapku lamat-lamat.
Aku diam. Berpikir cepat untuk mendapat jawaban paling logis. Clarinna yang populer, ramah, rupawan, kaya, dan banyak teman. Lalu bertemu seseorang yang punya penyakit mental, asosial, dan anak haram pelakor. Kira-kira, hal masuk akal apa yang bisa menjadikan mereka berteman baik?
Tidak ada! Haha.
Tante Rachel dan Om Damar masih menunggu jawabanku. Gamang melanda, panik mengintai. Sejak awal aku bertekad untuk menyelesaikan kekeliruan ini. Lantas kenapa sekarang aku malah terjebak? Pasti ada yang salah. Dan akulah penyebabnya.
Aku minta maaf. Maaf untuk siapapun. Aku egois karena candu pada sesuatu yang tidak pernah kudapatkan selama ini.
"Luc, tolong katakan yang sejujurnya." Tante Rachel memegang telapak tanganku. "Gimana Clar kalau sama kamu, sampai-sampai hubungan kalian harus rahasia?"
Sekali lagi maaf, kepada siapapun. Terutama Clarinna.
"Dengan saya, Clarinna bisa jadi dirinya sendiri."

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Luca
Aktuelle LiteraturWalaupun sangat ingin, Luca Abadi percaya dirinya tidak akan mati dalam waktu dekat. Seperti halnya hari itu, ketika sudah siap bunuh diri, Clarinna si presiden mahasiswa malah datang memergokinya. Perjumpaan itu membuat segalanya kacau--dalam versi...