Hei, Luka pakai Ce.
Kenalkan, aku seseorang yang sangat mengagumimu. Selalu menyertaimu. Selalu di belakangmu.
Meskipun sekarang punggungmu sudah tidak kelihatan, aku masih membersamaimu.
Hari ini tepat lima tahun setelah kepergianmu. Segalanya masih berjalan dengan baik, setidaknya secara tampilan. Entah kalau intinya. Yang kuingat, aku masih selalu menangis setiap malam dan berdoa semoga Tuhan segera mempertemukan kita.
Astaga. Sangat tidak nyaman menggunakan "aku", ya. Baiklah, ganti saja jadi "Mama". Oke?
Ya, Luca Sayang, ini Mama. Mama Maya.
Mama baru berani buat surat ini sekarang. Bagaimanapun, lima tahun rasanya terlalu singkat untuk menerima kepergianmu. Rasanya baru kemarin Mama melihat siluet tanganmu yang tidak bisa digapai di gedung P.
Namun, meski demikian, Mama menghargai keputusanmu, Luca. Sungguh. Memang terkadang ada banyak hal yang terjadi di luar kendali. Tapi percayalah, Mama tetap bangga sama kamu.
Adapun alasan Mama nulis surat ini karena dibujuk Dokter William, psikiater yang menangani Mama. Katanya, kita nggak bisa terus terlarut dalam duka. Bagaimanapun, semua rasa sakit harus diakui. Dan salah satu langkahnya adalah dengan terapi yang sedang Mama jalani. Yakni, menulis surat untuk diri Mama sendiri.
Tapi Mama masih belum bisa. Ketika buku ini dibuka, yang Mama pikirkan masih kamu. Mungkin nanti setelah keadaan memungkinkan, Mama akan menulis ulang.
Jadi, ya, ini dia. Surat untuk Luca Abadi. Anak baik kebangaan Mama.
Sekarang, izinkan Mama ceritakan beberapa kisah menarik. Sebelum kamu ada, saat kamu hadir, dan setelah kamu pergi.
Sebelum kamu hadir, Mama adalah manusia yang menyimpan banyak mimpi. Pertama, Mama ingin kuliah sampai beres, agar orang tua Mama menyesal karena menyia-nyiakan Mama, menaruh Mama begitu saja di panti asuhan.
Kedua, Mama ingin jadi aktris teater besar supaya bisa pentas di seluruh dunia.
Ketiga, Mama ingin hidup tenang dan memiliki anak laki-laki yang akan jagain Mama di hari tua.
Dari beberapa keinginan itu, hanya satu yang tercapai. Yaitu kamu, Luca. Mimpi nomor tiga.
Mama nggak peduli orang mau bilang apa soal kamu. Bagi Mama, kamu tetap anugerah. Kamu mungkin lupa, ketika usia lima bulan di perut, gerakan kamu sungguh aktif. Mama yang saat itu putus asa seperti ditampar kenyataan. Bahwa Mama harus tetap bertahan, masih ada harapan yang harus diperjuangkan.
Membutuhkan satu rim kertas kalau Mama ceritakan kisah-kisah menkjubkan selama kamu tumbuh di perut Mama, Sayang. Jadi Mama akan langsung melompat ke momen setelah kamu lahir.
Kamu tahu, awalnya Mama kira kamu adalah bayi besar nan montok. Karena berat sekali bawa kamu ke mana-mana selama 38 minggu. Ternyata begitu lahir, kamu justru sangat kecil dan merah. Suara tangismu juga nggak sekencang bayi pada umumnya. Namun meski demikian, kamu tetap sehat.
Mama hanya bisa susui kamu satu malam. Sebab keesokan harinya, ada hal yang harus disiapkan. Mama mulai pura-pura abnormal agar si Bandot Tua dan keluarganya nggak jadi ngusir kita.
Sulit rasanya bertingkah seperti itu. Apalagi bertahun-tahun. Juga menghadapi situasi yang nggak diinginkan. Yang mana darah daging sendiri dihina, dimaki, bahkan disiksa di depan mata. Mama hanya bisa menjerit di belakang ketika itu terjadi. Maaf, beribu-ribu maaf untuk itu.
Ada sedikit fakta lucu. Ketika nyonya rumah memutuskan nama kamu adalah Luka Abadi, Mama seratus persen menangis. Hampir saja Mama membuka kedok karena itu. Tapi nggak jadi karena Mama sadar semuanya bisa sia-sia. Sebagai gantinya, Mama menyelinap di malam hari. Mengganti huruf K dengan C. Berkas yang diberikan pada calo di keesokan harinya nggak disadari siapapun. Sampai akhirnya, namamu pun menjadi lebih berkesan. Luca, anak laki-laki yang membawa cahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Luca
General FictionWalaupun sangat ingin, Luca Abadi percaya dirinya tidak akan mati dalam waktu dekat. Seperti halnya hari itu, ketika sudah siap bunuh diri, Clarinna si presiden mahasiswa malah datang memergokinya. Perjumpaan itu membuat segalanya kacau--dalam versi...