Biasanya orang baik lebih cepat berpulang.
Sekarang aku tahu kenapa aku masih saja hidup.
____
"Kamu lebih manis dari cokelat yang kamu beri.
"Kamu seperti bunga. Menarik dan menyegarkan.
"Kamu baik.
"Hati dan rautmu sama menawannya.
"Aku ingin selalu bersamamu."
Om Damar dan Tante Rachel menatapku dengan senyum haru. Mata Tante Rachel bahkan berkaca-kaca ketika aku membacakan kalimat-kalimat tadi. Alih-alih merasa puas, aku justru malu sekali. Jangan-jangan puisi ini dianggap lelucon. Sama seperti pemikiran orang-orang di beberapa tahun silam.
"Selain ini, apa ada puisi buatan Clar yang pernah dia tunjukin ke kamu?"
"Nanti saya coba carikan, Tante. Kalau nggak salah, ada beberapa."
"Tolong, ya, Luc. Mungkin ada satu dua tulisan yang jadi tumpahan emosi dia selama ini."
Aku mengangguk takzim. Tante Rachel tersenyum penuh harap. Om Damar ikut menarik sumir.
"Menurut Om dan Tante, gimana puisi tadi? Bagus, nggak?"
Mereka bersitatap sejenak. Ada isyarat yang tidak bisa kuartikan. Keduanya seperti saling dorong untuk bicara duluan.
"Puisi yang murni," kata Om Damar. "Ini tulisan Clar yang pertama, ya?"
"Kenapa memangnya, Om?"
"Nggak seperti tulisan gadis seumurannya," ungkap Tante Rachel. "Tapi itu cukup bagus untuk orang yang memulai."
"Seandainya dia bilang pengin belajar puisi, ya, Ma." Om Damar mengembus napas berat. "Dasar nakal! Dulu dia suka ngoceh-ngoceh soal puisi. Katanya, ngapain cinta bawa-bawa samudera dan karang laut."
"Mama juga ingat itu." Tante Rachel terkekeh sejenak. "Cinta ya cinta, Ma.
Nggak usah bawa-bawa rembulan atau bara api."Mereka bercerita lagi. Mengenang Clarinna. Aku diam menyimak. Rasa dongkolku soal puisi --yang kata mereka tidak begitu bagus--terlupakan sesaat. Saat menceritakan putri mereka, ada kekehan kecil. Mengindikasikan mereka tidak sesedih biasanya.
Aku harus berterima kasih pada Gatan. Apa yang diutarakannya benar-benar sesuai rencana. Walau cukup sulit meyakinkan Mbok Ratih --karena dia sudah diperingatkan Ayah-- pada akhirnya aku bisa tiba di rumah yang selalu bisa menerimaku. Aku juga perlu sedikit bersilat lidah terhadap Om Damar dan Tante Rachel. Terutama soal Ayah Ibu dan penampakanku yang masih babak belur.
"Selain puisi, apa lagi yang sering kalian bicarakan, Luc?"
Aku memutar otak secepat yang kubisa barulah menjawab, "Lukisan."
"Lukisan?" Nada suara Om Damar biasa saja tapi aku merasa ditelanjangi. Ucapannya seperti tidak percaya sama sekali. Gawat.
"Tapi nggak selalu," kataku. "Kalau dia lagi jenuh dengan kehidupan organisasi."
Mereka mengangguk-angguk. Aku curi-curi waktu untuk bermain ponsel. Dalam hati aku berharap semoga kali ini mereka tidak memandang sebelah mata apa yang akan kutunjukan.
"Menurut Om dan Tante, gambar ini gimana?"
Tante Rachel menerima angsuran ponselku. Bersama Om Damar, dia meneliti layar pipih. Aku harap-harap cemas menunggu jawaban mereka.
"Ini gambaran Clar?" tanya Tante Rachel. Matanya menatap lekat-lekat. Selaput bening menggenang di matanya. "Kenapa dia gambar monster, ya?"
"Itu bukan monster," kataku cepat. "Itu gambar wajah dalam surealisme."
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Luca
General FictionWalaupun sangat ingin, Luca Abadi percaya dirinya tidak akan mati dalam waktu dekat. Seperti halnya hari itu, ketika sudah siap bunuh diri, Clarinna si presiden mahasiswa malah datang memergokinya. Perjumpaan itu membuat segalanya kacau--dalam versi...