Programer pertama di dunia adalah seorang wanita.
Jadi, paham kan, kenapa coding itu ilmu yang cukup sulit?
___
"Gue anak keempat dari lima bersaudara. Cewek semua."
"Wow," kataku. "Lima bidadari berarti, ya."
"Lima pandawa yang benar."
Alisku terangkat sedikit. Ars mengangguk untuk menegaskan.
"Bokap gue ambis banget punya anak cowok," ujarnya. "Kami berlima dikasih nama maskulin semua. Valencia Prakasani. Sevilla Mahabratani. Milan Bagaskarani. Arsenal Bratajayani. Chelsea Bachtiarani."
Kali aku tidak bisa menyembunyikan ketakjuban. Kedua alisku terangkat sementara celah bibirku terbuka. Sungguh, orang tua Ars sangat kreatif. Nama kelima putri mereka klub bola semua! Padahal Arsenal, Milan, dan Chelsea sudah kuanggap unik. Ternyata ada Valencia dan Sevilla pula.
Omong-omong, saat ini kami sedang menunggu studio film dibuka. Sesuai rencana, Ars membeli tiket bahkan camilan. Aku senang-senang saja ditraktir. Terlebih ini pertama kalinya aku ke bioskop.
"Nanti pas masuk nggak usah lepas sepatu atau bilang assalamualaikum, ya."
Tqdi, setibanya di halte terdekat, dia mengatakan itu sambil mengerling jenaka. Sepertinya dia sedang memperolokku. Kubalas leluconnya itu dengan hehe-hehe terpaksa.
"Dulu gue pernah bilang hidup lo sempurna banget," Ars membuka cerita lagi. Aku mendengarkan sambil melihat sekeliling. Ramai juga di sini. Apa pergi ke bioskop adalah kegiatan lumrah di akhir pekan, ya?
"Terus-terus?" Aku menyadari cerita Ars terjeda. Rupanya dia ingin aku menyimak tanpa melihat ke mana-mana.
"Pak Surya itu tipe bokap yang gue pengin, Luc."
Najis!
"Kharismatik. Ramah. Bisa bercanda. Cakep. Familyman. Sempurna banget, deh."
Lo harus lihat dia nginjek-nginjek badan gue, Ars.
"Beda banget sama bokap," sambungnya. Kali ini dia tampak sendu. Aku yakin ada segores luka di hatinya. "Gue benci banget sama dia."
"Kalau boleh tahu, kenapa emangnya?"
"Dia ninggalin kami gitu saja. Alasannya kontol banget. Gara-gara anak yang dilahirin Ibu cewek semua."
Uh, apa semua ayah di dunia ini memang berengsek, ya?
"Pasti berat banget, ya," kataku. "Gue nggak pernah ngerasain tapi pasti nggak mudah buat lo dan saudara-saudara lo. Kalau gue di posisi lo, belum tentu bisa bertahan."
Aku sepertinya salah ngomong. Ars menatapku dengan sedih. Sekarang seperti ada kaca-kaca yang melapisi matanya. Aku mencari-cari penyeka. Segera kuangsurkan tisu bersih yang tadi diberikan pegawai bioskop bersama camilan.
Ars mengeringkan sudut matanya yang berair sambil berkata, "Babi, lah! Omongan lo bikin gue kelilipan debu."
Aku membisu, merasa bersalah. Aku tidak tahu harus menjawab apa ketika seseorang menceritakan kisah sedih. Apa harusnya bilang begini? Sabar, ya. Atau, sudahlah jangan sedih lagi. Atau, nggak usah nangis, kesedihan lo nggak ada apa-apanya dibanding gue. Tapi rasanya tolol banget kalau aku berkata seperti itu.
"Dari tadi gue mulu yang cerita. Giliran, dong."
"Nggak ada yang menarik, Ars."
Dia menatapku dalam-dalam. "Kenapa lo dikasih nama Luca?" tanyanya. "Luca Abadi. Secara pelafalan orang Indonesia, artinya agak gimana gitu."
![](https://img.wattpad.com/cover/327377285-288-k548794.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Luca
General FictionWalaupun sangat ingin, Luca Abadi percaya dirinya tidak akan mati dalam waktu dekat. Seperti halnya hari itu, ketika sudah siap bunuh diri, Clarinna si presiden mahasiswa malah datang memergokinya. Perjumpaan itu membuat segalanya kacau--dalam versi...