Dihajar Pengajar

561 177 85
                                    

Yang durhaka bukan cuma anak, orang tua juga banyak yang durhaka.

____

Aku selalu cosplay menjadi cicak pada hari Senin, tepatnya di jam pulang kantor. Pipi kiri dan telapak tanganku merekat ke pintu transjakarta, sementara beberapa orang berjubel menekan di belakang. Ini bukan lelucon, tapi terkadang aku ingin tertawa miris.

Ayah dan Ibu tidak mau repot-repot meminjamkanku motor——seperti Bang Jona, atau mobil——seperti Kak Gista, atau antar jemput oleh supir—— seperti mereka. Tidak masalah, sungguh, karena hakikatnya, meminjamkan itu harus dengan hati yang rela. Salah-salah kalau aku nekat membawa kendaraan, nanti malah nubruk. Mending kalau langsung mati, kalau ternyata kendaraannya malah rusak dan aku harus ganti rugi, mampuslah. Tabunganku akan terkuras padahal itu satu-satunya bekal saat aku lulus nanti.

Jadi, biarpun tiap Senin, juga Selasa-Rabu-Kamis-Jumat-Sabtu harus cosplay jadi cicak, tidak masalah. Toh, kadang aku membayangkan jadi Spiderman ketimbang cicak. Yeah, Spiderman selalu keren, kecuali tititnya yang terlalu menonjol gara-gara kesempitan kostum.

Pengeras suara menginfokan halte pemberhentian berikutnya. Aku cukup lega. Biasanya di situ banyak yang turun. Jadinya aku tidak perlu lagi jadi cicak, eh, Spiderman.

Halte berhenti, kemudian pintu transjakarta terbuka. Sialnya, ada penambahan adegan. Sebelum aku keluar untuk membiarkan orang lain turun, aku malah jatuh. Pipiku menghantam lantai, tubuh depanku mendarat sempurna. Untung ransel kutaruh di depan sehingga dadaku masih selamat. Tapi Demi Tuhan, ini sungguh menyakitkan. Lebih sialnya lagi, rasa malulah yang menguasai.

Beberapa orang membantuku berdiri, aku menahan sakit dan malu sambil menepi. Kurasakan cairan amis di dalam mulut. Pasti berdarah, pikirku. Tapi aku tidak punya waktu untuk meludah, aku masih harus naik kendaraan yang sama. Alhasil, kutelan cairan amis itu, kuatur tudung hoodie supaya wajahku tidak kelihatan oleh sisa penumpang di dalam.

Ponselku bergetar panjang dan nomor tidak dikenal terlihat di layar. Kubiarkan sampai dua kali nomor itu menghubungiku. Kemudian ada pesan susulan. Di situlah baru kusadari ada beberapa chat yang masuk.

Kebanyakan mengaku sebagai teman kampus. Sambungannya adalah kenalan, mengajak berteman, minta diajari materi kuliah, iseng, dan lain-lain. Aku juga dimasukkan ke beberapa grup. Dan dari sekian banyak itu, ada satu yang membuatku bisa menebak tanpa harus menelusuri lebih jauh.

Clarinna Campaign

Aku menonaktifkan pemberitahuan dan bersiap menenggelamkan ponsel ke saku. Tapi pesan dari nomor yang tidak kusimpan tiba-tiba muncul. Karena beberapa kali sempat tukar pesan, aku tahu pengirimnya adalah Tante Rachel.

Hallo, Luca. Apa kabar?

Aku berniat memblokir nomor Tante Rachel. Tapi pesan berikutnya malah nongol.

Kami mau undang kamu makan malam di rumah. Boleh ajak keluargamu juga, ya. Pasti seru bisa kenal kalian lebih dekat.

Pengeras suara menginfokan halte tujuanku. Aku beringsut sambil memasukkan ponsel. Setelah melakukan tap out di pintu keluar, aku bergegas melewati jembatan penyeberangan dan sedikitnya lima ratus meter menuju rumah.

Ketika aku datang, keluargaku baru selesai makan malam. Aku menyapa basa-basi dan melangkah cepat ke kamar. Perutku sudah keroncongan tapi aku masih harus menunggu sekitar setengah jam. Lebih tepatnya setelah Ibu dan Ayah lepas pandang.

Tiga puluh menit berlalu, aku bisa makan. Walapun sendirian dan di dapur, lumayanlah.

"Sekarang lo bisa ngomong begitu karena masih muda."

Luka LucaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang