Telapak Tangan

211 11 0
                                    




Jimin itu memang suka mengacau. Entah kenapa, tapi secara alamiah tubuhnya suka melakukan kesalahan.

Contohnya saja pagi ini. Jimin mengacau lagi, dan kali ini ia merusak mesin cuci mahal di apartment Yoongi.

Tadinya Jimin hanya ingin mengeringkan pakaian-pakaian yang sudah ia cuci dan tiba-tiba saja ditengah jalan pengeringnya berhenti begitu saja.

Tanpa alasan.

Menurut Jimin, sih. Ia merasa tidak melakukan sesuatu yang salah sejauh ini tapi kenapa pengeringnya tidak bisa bekerja? Jimin sendiri bahkan tidak tahu apa kesalahannya.

Setelah melakukan hal tidak berarti untuk memperbaiki mesin cucinya selama berpuluh-puluh menit, akhirnya tidak ada yang berubah dan Jimin menyerah.

Kini ia diliputi keresahan berat. Bagaimana ini? Jika ia memberitahu Yoongi, ia bisa habis. Tapi kalau tidak, juga sama saja.

Dan setelah mengumpulkan keberanian cukup lama, Jimin memutuskan. Dia...











Tidak akan memberitahu Yoongi. Pura-pura tidak tahu saja.

Hmm...

Tapi tidak semudah itu. Insting Yoongi sangat kuat jika mengenai kesalahan yang dilakukan Jimin.

Sorenya setelah beberapa saat sampai di rumah, Yoongi langsung bertanya pada Jimin mengenai perasaannya yang aneh.

"Apa yang sudah kau lakukan sampai alarm bahaya di otakku mengatakan ada yang salah di tempat ini?" Tanya Yoongi dingin. Yoongi masuk begitu saja ke kamar Jimin saat ia sedang tiduran membaca novel.

Jimin awalnya tersentak. Lalu ia mulai gemetar mengingat mesin cuci itu lagi. "Aa... A... Itu... Maafkan aku," kata Jimin melemah di akhir.

"Apa lagi sekarang?" Yoongi mulai mendekat dan mencengkeram pergelangan tangan Jimin. "Apa yang sudah kau lakukan hari ini?"

Jimin menunduk, matanya hampir menitikkan air mata, tapi itu sebuah larangan jika ada Yoongi.

"Aku tidak tahu, tapi pengering mesin cucinya tidak bisa bekerja," kata Jimin. Ia mulai menangis tanpa suara dan masih tetap menunduk.

Tanpa aba-aba Yoongi menarik Jimin untuk melihat mesin cuci yang terletak di dapur apartment yang mereka tinggali tersebut.











Setengah jam kemudian.

"Aaaggh... mmmpph..." Jimin hampir berteriak, namun ia menggigit bibirnya sendiri untuk meredam teriakan yang mungkin menjadi bahan bakar untuk memicu kemarahan Yoongi lebih besar.

Setan memang.

Bisa-bisanya Yoongi menempelkan kedua telapak tangan Jimin pada wajan panggangan yang sudah dinyalakan beberapa menit sebelumnya. 

"Luruskan jarimu!" beberapa jari yang menekuk diluruskan oleh Jimin. Kini seluruh telapak tangannya menapak pada wajan panas itu.

Beberapa jarinya melepuh, apalagi telapak tangannya yang menempel pada wajan selama hampir semenit. "Sakit," H
hanya satu kata itu yang dapat keluar dari mulut Jimin ketika ia berusaha mengangkat kedua tangannya yang ditahan Yoongi.

Jimin menutup matanya, rasanya ia ingin pingsan saja tapi kenapa selama ini tubuhnya kuat sekali. Tidak pernah hilang kesadaran satu kali pun.

Saat masih menutup mata, Jimin merasakan tubuhnya terangkat. Jimin kira semua ini akan berakhir, tapi tidak ketika Yoongi membawanya berdiri di atas batu kerikil yang panas.

Posisi mereka berhadapan dan Yoongi memeluk pinggang Jimin agar sedikit terangkat dari tanah. Tangan Jimin tidak bisa menyentuh apapun, tapi kali ini ia tidak peduli. Jimin menggigit bahu Yoongi yang terlapis kaos putih saat kakinya menyentuh sesuatu yang membakar itu.

Karena tidak boleh berteriak atau menangis, jadi gigit saja agar sama-sama sakit. Karena rasa sakit itu, air matanya tidak mau berhenti meleleh.

Pada akhirnya ketika tubuh Jimin sudah sangat ingin tidak merasakan sakit itu lagi, Yoongi menggendong Jimin di bahunya. Yoongi membawa Jimin tidur di kamarnya sendiri tanpa perlu mengobati luka yang telah ia buat karena menuruti sifat temperamennya tersebut.

Peduli setan dengan lukanya.


Just a MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang