Dor!(New)

32 1 0
                                    




Bab baru setelah 3 kali unpub. Juga, aku nulis oneshoot di buku sebelah, agak sedikit lebih panjang. Besok chap 2 bakal publish.






Hari ini sebenarnya libur sekolah, tapi Jeongguk pergi ke sekolahnya pagi ini. Niatnya ingin mengumpulkan tugas mingguan dari sekolah.

Jeongguk baru akan naik kelas 12 setelah ujian akhir yang membuat mereka libur minggu ini selesai.

Jeongguk naik sepeda yang biasa ia gunakan selama 2 tahun terakhir melalui rute yang biasa, menempuh jarak 1 kilometer ke sekolahnya. Rute ini selalu sepi karena bukan jalan raya, tapi ia suka melihat kebun-kebun di pinggiran jalan ini, selain lebih dekat tentunya.

Pulangnya ia melewati kantor polisi, entah kenapa ia mengambil jalan raya kali ini. 100 meter sebelum kantor polisi itu ia lewati, dapat dilihat ada keributan di sana. Tapi Jeongguk tidak peduli, ia terus mengayuh sepedanya pelan.

Melihat ada dua orang mencolok diantara kerumunan, Jeongguk melajukan kayuhannya merasa tidak enak.

DOR!!!

Sepeda Jeongguk tergeletak di pinggir jalan.

Tembakan meleset seorang polisi mengenai perut belakang sebelah kiri Jeongguk. Tembakan yang awalnya ditujukkan untuk salah seorang penjahat yang mencoba melarikan diri. Seharusnya mengenai kaki orang itu, tapi karena salah satu penjahat yang tidak kabur ini menyenggol polisi penembak, jadi meleset.

Kerumunan polisi mendekati Jeongguk yang berjarak 50 meter dari kantor polisi. Melihat darah yang mengotori kaos kuningnya, mereka cepat memasukkan Jeongguk yang sudah kehilangan kesadarannya ke mobil polisi untuk dibawa ke rumah sakit.

Membiarkan sepedanya, uang Jeongguk yang tercecer serta tetes darah di atas aspal untuk ditangani rekan polisi yang lain.

Seorang polisi yang berada di kantor sudah menghubungi keluarga Jeongguk untuk segera menuju rumah sakit.

Keluarga Jeongguk sampai saat Jeongguk masih di ruang operasi. Sambil menunggu, si polisi yang menembak Jeongguk meminta maaf sekaligus menceritakan kejadian yang menimpa anak mereka. Tapi keluarganya tidak marah sama sekali, mereka hanya memikirkan keadaan anak mereka di dalam sana.

Sang ibu mendokan keselamatan putranya, dan ayah Jeongguk mulai merasa bersalah atas perlakuannya kepada Jeongguk selama ini. Dimana ia memperlakukan Jeongguk seakan anak itu bukanlah anaknya sendiri.


Just a MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang