03. Si Jablay

1.5K 178 7
                                    

    Sudah dua jam Jinan duduk di salah satu meja kafe Aurora dan menghabiskan satu server americano lengkap dengan sebuah heater dibawahnya. Jam makan siang sudah lama selesai tapi Jinan masih betah duduk disini dan belum ingin beranjak.
   
    Ia izin dengan sang ayah langsung tadi untuk pulang saat jam makan siang. Beruntung beliau mengizinkan tanpa bertanya macam-macam pada Jinan. Pasalnya, tadi Zee mengirim pesan pada Jinan-- ya, mereka sudah bertukar kontak, jika Cindy datang siang ke kafe, dengan wajah yang terlihat sedih saat itu. Dan disinilah ia sekarang. Duduk bersama Cindy dan memakan piring ketiga cake yang tadi ia pesan pada Adel.
   
    "Idih, banyak banget makannya. Laper banget emang?" tanya Cindy yang duduk di depan Jinan. Tangannya memangku dagu dan dengan tenang menemani gadis itu menghabiskan piring yang kini berisi red velvet.
   
    Jinan mengangguk untuk menjawab pertanyaan Cindy tadi, "banyak banget kerjaan tadi. Lupa sarapan karena bangunnya telat." Tidak tahu saja Cindy kalau ini semua hanya alibi Jinan agar bisa menemani gadis itu lebih lama. Tidak tega rasanya melihat Cindy bersedih sendiri seperti semalam.
   
    Gadis di depannya itu menyipitkan mata, bisa-bisanya Jinan telat bangun padahal sudah sebesar ini, "kok bisa telat bangun? Ga dibangunin Mama lo? Terus kenapa ga bawa bekal ke kantor? Emang kantor lo jauh dari rumah? Lo kerja dimana?"
   
    Astaga, Jinan hampir tersedak karena pertanyaan beruntun dari Cindy. Sudah macam reporter saja.
   
    "Banyak banget tanyanya, Bund? Gue bingung nih jawabnya." Jinan menelan makanannya sebelum melihat Cindy tersenyum karena reaksinya barusan.
   
    "Gue telat bangun karena semalem gabisa tidur gitu. Di rumah aturan disiplinnya ketat banget, jadi kalau telat bangun ya ga dapet jatah bekal. Mama udah bangunin tapi karena kebo adalah nama tengah gue, jadi ya gitu. Bahkan Papa udah ikutan bangunin dan--"
   
    "--lo tetep ga bangun?" tebak Cindy. Jinan mengangguk dengan cepat untuk mengiyakan, "padahal mereka berdua kalau dah collab bangunin anaknya, beuh, kena badai angin ribut tuh kamar kita."
   
    Cindy tertawa ketika mendengar cerita Jinan. Keluarganya nampak sangat hangat jika ia bayangkan. Mungkin itu juga yang membuat Jinan jadi sehangat ini padanya.
   
    "Kocak banget, dah. Untung ga dilempar keluar jendela sama Papa lo."
   
    "Pernah, tau! Bukan sama Papa doang, malah collab sama dua adek gue gitu, gue pas tidur diceburin ke kolam renang. Gila aja, mau gue laporin ke polisi aja rasanya atas tuduhan pembunuhan berencana, tapi masih keluarga sendiri."
   
    Dari jauh, Zee dan Adel saling tatap karena melihat sang Bos tertawa dengan seorang gadis yang baru ia kenal semalam. Sedikit aneh rasanya tapi mereka sedikit bersyukur karena melihat Bos kesayangan yang sudah mereka anggap kakak sendiri itu kembali tersenyum.
   
    "Eh, lo belum jawab soal kantor dimana lo kerja. Jadi, dimana? Jauh ga dari sini? Kenapa lo kesini tiap hari?" tanya Cindy.
   
    "Hm, di Mahagita Corp. Deket kok dari sini, cuma dua kilo keknya," ucap Jinan. Mendengar nama perusahaan itu Cindy sedikit terkejut sampai mata dibalik kacamata itu membulat.
   
    "Mahagita Corp?"
   
    Jinan mengangguk, "iya, disana. Kenapa? Ga percaya ya gue bisa tembus kerja disana?"
   
    Sebenarnya Cindy juga merasakan hal itu, sedikit tidak bisa dipercaya orang nyeleneh seperti Jinan bisa masuk ke perusahaan besar nan elit seperti Mahagita Corp. Tapi bukan itu saja yang membuat Cindy terkejut.
   
    "Suami gue kerja disana juga."
   
    Gadis di depannya itu meneguk kopinya sambil menaikkan alis. Hm, kebetulan apa lagi ini?
   
    "Oh ya? Di bagian apa?"
   
    "Divisi marketing."
   
    "Ah, beda sama gue kalau gitu." Jinan berusaha tenang saat membahas hal ini. Meski hatinya terasa masih 'potek' ketika teringat Cindy sudah punya suami.
   
    Cindy mengangguk saja, ia lantas menyadari kalau makanan Jinan sudah habis, "masih laper, ga? Mau gue beliin nasi Padang di warung sebelah?" tanya Cindy. Jinan tentu menggeleng, yang benar saja bidadari ini, Jinan sudah makan 3 piring kue dan menghabiskan 1 server kopi masih mau disuruh makan nasi Padang.
   
    "Gausah, dah kenyang gue. Makasih ya udah nemenin makan siang." Jinan lantas beranjak dari meja dan meninggalkan Cindy untuk ke meja kasir. Ia selalu bayar saat habis memesan, tapi kali ini ia mengeluarkan dompet dan memberi 300 ribu lagi pada dua gadis itu.
   
    Jujur, Zee dan Adel merasa tidak enak karena Jinan yang selalu memberikan tip berlebihan seperti ini. Tapi saat mereka menolak Jinan selalu bilang; "ga boleh nolak rezeki."
   
    Yang Cindy lihat adalah Jinan membayar makanannya, tapi nyatanya itu adalah uang 'bayaran' karena Zee dan Adel sudah melaporkan soal Cindy padanya. Hm, Bos emang beda, mainnya selalu pakai duit, tapi tidak selalu pada hal yang buruk.
   
    "Nitip tuh cewek, ya? Kalau ada apa-apa langsung kabarin kek tadi," ucap Jinan dengan volume pelan agar Cindy tidak mendengarnya.
   
    "Wah, siap, Bos!" Zee dan Adel memberikan salute pada gadis itu sebelum pergi dari kafe dan kembali menuju ke kantor. Sebenarnya ia bisa langsung pulang tapi ada sesuatu yang harus ia pastikan.
   
    Sampai di Mahagita Corp, Jinan langsung menghampiri meja resepsionis dimana ada seorang gadis berdiri di balik meja dan dengan ramah menyapanya.
   
    "Selamat siang, Nona Muda. Ada yang bisa Saya--"
   
    "Ssstt, jangan keras-keras, Ti. Panggil Jinan aja gausah pake embel-embel kek gitu kalau ga ada Ayah." Jinan celingukan melihat situasi di lobby yang nampak sepi karena jam kerja sudah dimulai kembali.
   
    "Oh iya, lupa gue, Nan. Sorry sorry," ucap Christy, sang resepsionis.
   
    "Omong-omong soal Ayah, dia masih di kantor, kah?" tanya Jinan.
   
    Christy sedikit mengingat-ingat, "oh, tadi sebelum makan siang dia pulang, sih, Nan. Bilang sama gue kalau ada yang nyari suruh balik besok, katanya pusing gitu." Jinan mengangguk, lalu ia mendekatkan wajahnya ke arah Christy untuk menanyakan sesuatu.
   
    "Ti, tolong cariin pegawai yang nama istrinya Cindy, dong. Bisa, kan?"
   
    Christy tentu mengangguk, semua jadwal pegawai dan daftarnya ia punya karena database semua pekerja terhubung ke komputer di meja ini.
   
    "Bisa aja, sih. Tapi buat apa lo nyari kek gituan?" tanya Christy heran. Ia mengetikkan beberapa hal lewat keyboard di meja sembari menunggu jawaban dari Jinan.
   
    "Udah, cariin aja dulu. Gue butuh."
   
    Well, Christy hanya bisa menuruti permintaan sang Nona Muda. Tak butuh berapa lama layar di komputer Christy memunculkan banyak nama sesuai yang Jinan minta.
   
    "Nih, ada 118 orang yang istrinya namanya Cindy. Mau cari Cindy yang kek gimana lo?"
   
    Mata Jinan menyipit, ternyata banyak juga Cindy di bumi ini. Dan kenapa harus Cindy yang sudah bersuami yang menarik hatinya untuk jatuh hati?
   
    "Lo bisa kirim ke e-mail gue ga, Ti? Biar gue yang cari sendiri ntar."
   
    "Bisa, tapi kalau ada apa-apa atau bokap lo marah jangan bawa-bawa gue, ya?"
   
    "Gampang."

𝐏𝐥𝐚𝐲𝐢𝐧𝐠 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐅𝐢𝐫𝐞 | 𝐂𝐢𝐍𝐚𝐧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang