Jam 8 malam mereka baru pulang dari kebun binatang. Sebenarnya tadi sempat mampir untuk makan dan membeli beberapa barang yang Cindy butuhkan untuk keperluan rumah. Jinan dengan senang hati menemani bahkan ingin membayar semuanya, tapi Cindy menolak.
Sekarang mereka menuju ke rumah Cindy tapi Jinan teringat dengan jajanan yang semalam ia beli untuk adik-adiknya.
"Eh, Cind? Mampir rumahku dulu mau, ga? Bentar doang ini ngasihin belanjaan kemaren ke adik-adik aku."
Cindy langsung mengiyakan saja, "atau ga aku turun sini aja, Nan. Ntar balik naik taksi. Deket juga ini dari rumah aku."
"Ngga bisa gitu, dong." Jinan tentu langsung menggeleng, sudah malam dan Jinan tidak ingin orang ini pulang sendiri, "bentar aja. Nanti aku anter kamu pulang. Titik."
Jinan kemudian berhenti di depan rumah sederhana bercat putih. Tentu ini bukan rumahnya, tapi ia tetap mengajak Cindy masuk. Pintunya tidak dikunci dan Jinan langsung menyuruh wanita itu duduk di sofa dan menunggunya disana.
"Tunggu bentar, ya, Cind?"
"Iya, santai aja, Nan."
Ada seseorang yang menatap bingung pada dua gadis itu dari dapur yang hanya berbatas kain dan rangkaian manik-manik. Jinan membawa dua kantong belanjaan itu ke dapur dan menemui orang tadi.
"Heh! Lo bawa siapa lagi, Jiban?!" tanya gadis itu dengan nada menyelidik. Matanya menatap Jinan dengan tajam.
"Ssstt, jangan keras-keras, Ay. Itu temen gue, alias crush, alias gebetan. Lo tawarin minum, dah, gue mau kasih ini ke Chikuy sama Matcha bentar."
Jinan langsung keluar dari pintu belakang rumah itu dan meninggalkan Aya yang menatapnya dengan kesal. Selalu seperti ini, Jinan tidak pernah membawa teman atau orang yang tidak tahu dirinya anak pemilik Mahagita Corp ke rumah aslinya. Melainkan membawanya kesini, ke rumah Aya, anak Bi Sisil.
Bisa dibilang Aya adalah sahabat Jinan sejak kecil, dan jangan ragukan lagi kekompakan diantara mereka. Jinan selalu membantu Aya, and vice versa.
Rumah Aya berdiri di ujung halaman belakang rumah Jinan. Jika melewati pintu belakang rumahnya, maka Jinan harus melintasi halaman belakang rumahnya sendiri.
"Ekhem. Mau minum apa?" Aya akhirnya keluar ke ruang tamu dan menemui Cindy. Gadis itu menunggu jawaban darinya tapi Cindy masih terdiam karena melihat Aya yang tiba-tiba muncul. Sadar akan kebingungan gadis itu, Aya lantas tersenyum kikuk dan memperkenalkan dirinya pada Cindy.
"Eh-- iya, gue Aya. Kakaknya Jinan. Lo temennya, ya?"
Cindy mengangguk, "iya, baru kenal sih. Em, gausah repot-repot nyiapin minum. Kata Jinan cuma bentar aja, kok."
Gadis itu mengangguk, ia lantas duduk di single sofa dan menemani Cindy mengobrol ringan sambil menunggu Jinan kembali.
"Yaudah, ditungguin dulu Jinannya lagi boker."
Sementara itu Jinan masuk ke dalam rumahnya melalui pintu belakang yang langsung tembus ke ruang santai. Disana ia melihat Chika dan Marsha tengah sibuk dengan ponsel dan laptopnya masing-masing.
"Berhenti!" Jinan yang hendak menghampiri mereka itu langsung berhenti karena Chika menyuruhnya berhenti, "darimana asalmu, Kisanak?!"
Jinan langsung menyipitkan mata, "hamba datang dari negeri yang jauh, Tuan Putri."
Ah, betapa lucunya tiap melihat interaksi gadis-gadis ini.
"Apa hajatmu hingga jauh-jauh datang kemari, wahai pengembara?" Kali ini Marsha yang bertanya. Bi Sisil yang melihat dari dapur hanya tersenyum karena tingkah mereka.
"Hamba hanya ingin memberi persembahan pada Tuan Putri. Sudilah kiranya Tuan Putri menerima hasil panen hamba yang tidak seberapa ini." Jinan kemudian meletakkan dua kantong jajanan itu di sofa, membuat mata adik-adiknya berbinar.
Chika mengangguk pada Jinan, "baiklah, persembahanmu kami terima. Sekarang, pergilah wahai pengembara."
Jinan langsung menangkupkan dua tangan ke depan dadanya sendiri, "baiklah, Tuan Putri. Hamba pamit."
Gadis itu berjalan cepat ke pintu belakang lagi namun terhenti karena sang Mama memanggilnya.
"Mau kemana lagi, Nan? Kamu ga pulang semalem, tidur dimana, ha?" tanya Veranda yang baru turun dari lantai dua.
"Maaf, Ma. Jinan tidur di rumah temen kemarin, ini mau anter dia pulang dulu, Ma."
"Mana orangnya?"
"Di rumah Aya, Ma."
Veranda hanya mengangguk, ia tahu Jinan tidak akan macam-macam karena anak sulungnya itu bukan tipe anak yang nakal.
"Nanti pulang, ya?"
"Aduh, ga janji, ya, Ma? Tapi nanti Jinan usahain."
Jinan langsung berlari ke pintu belakang lagi tapi panggilan Chika kembali memberhentikannya.
"Apa lagi, Kuy?" tanya Jinan.
"Gue ada tugas buat observasi tempat usaha gitu. Bisa bantuin, ga, Kak?" tanya Chika.
"Deadlinenya kapan?"
"Masih dua minggu, sih."
Sang kakak mengangguk mendengar itu, "yaudah, ntar gampang. Kak Jinan pergi dulu."
Veranda menggelengkan kepala karena melihat Jinan yang tidak seperti biasanya. Sementara Marsha dan Chika saling menatap saat Jinan menghilang dari pintu belakang.
"Cha, gue berani taruhan Kak Jiban lagi pergi sama tuh pemilik kafe," ucap Chika. Marsha mengangguk, "aku juga mikir hal yang sama, Kak."
Gadis itu kembali ke rumah Aya melalui pintu yang sama. Saat ia mencari Cindy, wanita itu tengah duduk bersama Aya dan terlihat tertawa bersama gadis itu. Entah apa yang Aya katakan sampai Cindy terkekeh begitu renyah, tapi Jinan sedikit tidak suka dengan itu.
"Cindy? Jadi pulang, ga?" tanya Jinan. Cindy yang melihat Jinan datang langsung menatapnya dan mengangguk, "udah poopnya, Nan?"
Kedua alis Jinan tertaut karena pertanyaan Cindy barusan. Ah, pasti Aya. Ia menatal gadis itu tajam sebelum menarik tangan Cindy keluar dari rumah Aya.
Di dalam mobil, Jinan hanya diam dan fokus pada jalanan yang ia lintasi. Tidak ada obrolan antara dirinya dengan Cindy, entah kenapa tapi Jinan nampak kesal akan sesuatu, dan Cindy menyadari itu.
"Nan?" panggil Cindy. Jinan hanya membalas dengan deheman dan tanpa menatap ke arah manusia di sampingnya itu.
"Kenapa bad mood? Marah sama aku, ya?" tanya Cindy to the point.
Jinan menggelengkan kepala untuk menyangkal pertanyaan itu, "engga, ngapain marah coba?"
Cindy ikut memfokuskan mata pada jalan yang sudah dekat dengan kompleks perumahan tempat ia tinggal.
"Ya, siapa tau aku bikin kamu kesel, gitu. Yang aku ga sadar, terus kamu marah."
"Tadi ngobrolin apa aja sama Aya?"
Cindy lantas menatap wajah samping Jinan, rahang tegasnya nampak sangat indah jika dilihat dari angle ini. Ia berpikir apakah Jinan marah karena dia mengobrol dengan Aya? Tapi apa salahnya?
"Ngobrolin kamu. Aku yang minta dia buat cerita tentang kamu, soalnya aku penasaran," jawab Cindy jujur.
"Kenapa penasaran?"
"Ya karena aku pengen tahu lebih banyak soal kamu."
Jinan berusaha untuk menahan senyum saat mendengar itu. Ternyata Cindy benar-benar memperhatikannya, bahkan ia sampai bertanya pada Aya.
"Tapi kakak kamu itu cuma cerita aib-aib kamu, Nan. Lucu-lucu juga tapi, sampe aku ketawa ngebayanginnya. Apalagi yang pas kamu kecebur got depan rumah pas belajar naik sepeda, kata kakak kamu sampe item semua ya badan kamu?"
Mata Jinan membulat saat mendengar ucapan Cindy barusan. Ternyata tadi Cindy tertawa bersama Aya karena membahas aib Jinan?
"Aya bangsat!"* * *
"Bener gamau nginep sini lagi?" tanya Cindy saat mereka sudah sampai di depan rumahnya. Jinan menggeleng pelan untuk menolak, senyumnya terukir menatap Cindy sambil melepas seatbeltnya.
"Tadi disuruh Mama pulang, Cind. Kapan-kapan lagi, boleh, kan?"
Cindy tentu mengangguk, ia sudah merasa cocok dengan Jinan meski baru kenal beberapa hari. Bahkan ia merasa ada kesedihan saat mengetahui Jinan akan pulang malam ini.
"Iya, boleh, dong."
Gadis di depan kemudi itu melepas topinya sekejap lantas menyisir rambut dengan kelima jarinya, "lagian suami kamu masih lama kan survei di Balinya? Ntar aku temenin, kalau ga kamu aja yang nginep di rumah aku."
"Tau darimana kamu suamiku ada di Bali?" tanya Cindy balik, perasaan sejak tadi Cindy tidak mengatakan kalau suaminya ada di Bali. Ia hanya bilang kalau Reyhan sedang ada kerjaan di luar kota.
"Eum, denger-denger aja, sih. Satu kantor bicarain proyek itu jadi ya... Gitu... Tau aja akunya."
"Oh..." Cindy mengangguk saja, tidak menaruh curiga pada Jinan apalagi ia hampir lupa kalau gadis ini satu kantor dengan Reyhan.
"Gimana? Mau, kan?"
Cindy sedikit berpikir, ia mau-mau saja kalau Jinan menginap di rumahnya, tapi kalau Cindy yang ke rumah Jinan sepertinya tidak bisa karena ia merasa tidak enak pada keluarga gadis itu.
Padahal dalam rencananya Jinan ingin membawa Cindy ke rumah aslinya dan mengenalkan teman barunya pada Veranda.
"Oke aja aku, Nan, kalau kamu mau nginep di rumahku. Tapi kalau aku yang ke rumahmu... Keknya ga dulu, deh. Aku ga enak sama keluarga kamu."
Dahi Jinan langsung berkerut mendengar itu, "loh, kenapa? Keluarga aku baik, kok. Kamu dah kenal Aya, kan? Nah adik-adikku yang lain juga agak laen gitu kek Aya. Ga galak, kok."
"Tapi Nan..."
"Apalagi Mama, pasti seneng banget soalnya kamu pinter masak. Ntar pasti kamu diajak collab sama Mama di dapur."
Ah, betapa ingin Jinan melihat mamanya berkolaborasi bersama Cindy memasak di dapur. Dua bidadari, dalam satu ruangan, apa tidak terkena badai nanti dapurnya?
"Nanti dulu, deh, Nan. Aku masih belum siap."
Jinan terkekeh kecil, "buset, kaya mau ketemu calon mertua aja pake belum siap segala."
"Ih, Nan!"
Betapa hangat suasana di mobil Jinan saat itu. Keduanya terkekeh akan beberapa hal yang mereka anggap lucu dan mengesankan hari ini. Apalagi tadi saat di kebun binatang, Jinan banyak sekali melihat Cindy tertawa. Dan itu membuatnya senang.
Saat Cindy hendak turun, Jinan teringat sesuatu dan menahan wanita itu untuk tinggal sebentar lagi.
"Tadi adek aku bilang ada tugas observasi tempat usaha gitu, Cind. Kalau misal observasinya di kafe kamu boleh, ga?" tanya Jinan.
Cindy tentu mengangguk, "boleh lah, boleh banget, Nan."
"Bener?"
"Uhum, ajak aja ke kafe, kalau butuh wawancara atau data apa gitu pasti aku bantu."
Jinan tersenyum senang karena Cindy memberi izin untuk Chika mengerjakan tugas dengan kafe Cindy sebagai objek penelitiannya.
"Yaudah, aku turun, ya?"
"Iya, hati-hati ya di rumah? Kalau butuh apa-apa chat aku aja," ucap Jinan.
Cindy mengangguk mendengar itu, "pasti. Makasih ya udah nemenin dari kemaren terus juga jalan-jalan tadi."
"Seneng ga tapi?" tanya Jinan. Wanita itu lantas mengangguk, jika boleh jujur, hari ini mungkin adalah salah satu hari terbahagianya sepanjang tahun. Dan itu ia habiskan bersama Jinan.
"Seneng banget, Nan."
"Yaudah, turun gih. Bersih-bersih, terus tidur. Keknya ga bakal ujan malam ini jadi aman."
Cindy terdiam sejenak saat melihat Jinan berkata seperti itu. Apa yang ia rasakan ini terlalu berlebihan? Ia baru kenal dengan Jinan tapi rasanya sudah seperti sahabat sehidup semati saja sayangnya.
"Sini deh, aku mau bisikin sesuatu." Cindy menggerakkan telunjuknya seperti memberi kode pada Jinan untuk mendekat ke arahnya. Gadis itu menurut lantas mencondongkan badannya ke samping kiri agar Cindy bisa dengan mudah berbisik di telinganya.
ChuuupMata Jinan membulat saat tiba-tiba Cindy mencium pipinya secara kilat. Hanya beberapa detik tapi rasanya bibir Cindy akan membekas selamanya di pipi Jinan.
"Kamu gemes banget, deh, Nan. Makasih ya sekali lagi. Dah!"
Jinan termenung sendiri sampai tidak sadar Cindy sudah turun dan menatapnya sambil tersenyum saat memutari bagian depan mobilnya.
"Ga bakal cuci muka setahun gue!"
To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐏𝐥𝐚𝐲𝐢𝐧𝐠 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐅𝐢𝐫𝐞 | 𝐂𝐢𝐍𝐚𝐧
Fanfiction"Jinan bego, suka kok sama istri orang." -Aya JNN x CND gxg • mature content HeroesLegacy©2022