Makan malam di malam yang lain di kediaman Kinan. Tidak seperti malam sebelumnya, Jinan nampak senang kali ini bahkan ia dengan lahap memakan makanan yang dimasak Bi Sisil dan Veranda.
"Enak banget, Ma!" ucap Jinan senang. Chika dan Marsha yang melihat sikap Jinan itu langsung saling bertatapan, keduanya nampak curiga pada gadis sulung itu.
"Apaan sih, Kak? Kan tiap hari masakan Mama sama Bi Sisil enak terus," ucap Marsha.
Chika ikut mengangguk, "tau nih, udah 24 tahun idup sama Mama sama Bi Sisil kok baru nyadar, aneh banget."
"Kalian diam!" ucap Jinan dengan mata kesal. Entah kenapa Marsha dan Chika suka sekali mengganggunya.
"Udah, jangan berantem di meja makan," tegur Veranda.
"Oh ya, Nan, kamu udah tau kan kalau kita mau bangun cabang di Bali?" tanya Kinan pada anak sulungnya. Jinan mengangguk pada sang ayah, "itu beneran bakal terealisasi, Pa? Udah jadi wacana sejak awal tahun, kan?"
Kinan mengangguk, "besok bakal mulai survei buat gedungnya. Jadi Papa sama tim bakal ke Bali buat beberapa hari."
"Ih! Mau ikut, Pa!!"
"Mau ke Bali juga, Pa! Ajak kita, dong!" Marsha dan Chika langsung kegirangan ketika mendengar kalau papa mereka akan ke Bali.
"Heh, kalian kan masih sekolah sama kuliah. Jangan ngadi-ngadi, ya, Matcha, Chikuy," ucap Ve.
"Yah, Ma, kan udah lama kita ga ke Bali," rengek Marsha.
Chika langsung mengangguk untuk menyetujui ucapan si Bungsu, "iya, Ma, Pa. Udah lamaaaaa banget kita ga liburan, kan?"
Sementara itu sang sulung hanya menggeleng melihat kelakuan dua adiknya itu, "Papa ke Bali mau kerja, woy. Bukan liburan."
"Iya, Chikuy, Matcha, kalau mau liburan nunggu kalian selesai ujian dulu. Pas udah libur, kita pergi bareng-bareng ke Bali nanti," kata Kinan. Keduanya langsung bersorak karena akhirnya mereka akan pergi ke Bali lagi.
"Yeay!! Ke Bali!!"
"Dengan catatan--" Veranda memotong kesenangan mereka, "--Chika harus pecahin rekor IPK semester kemarin. Dan Marsha harus dapet ranking 3 besar."
"Yaahhhh!"
"Kok gitu sih, Ma?!"
Sontak, kedua gadis itu cemberut karena mendengar syarat dari sang Mama yang sepertinya sedikit sulit untuk digapai.* * *
"Jadi ke Balinya berapa hari?"
Mata pria itu langsung menatap tajam ke arah Cindy, ia kesal karena tadi ia merasa sudah bilang kalau ia akan ke Bali selama satu minggu.
"Udah dibilang kan tadi? Satu minggu, sama Bos. Disana juga bakal full survei, kerja, ga lirik cewek lain. Kamu tenang aja bisa ga si?"
Cindy hanya diam dan tidak ingin membalas ucapan ketus sang suami. Sudah sering ia diperlakukan seperti ini, kelembutan yang ia rasakan dulu saat awal-awal pernikahan kini sudah jarang terasa, jarang sekali. Tapi dengan tabahnya Cindy hanya diam dan menerima sikap Reyhan yang selalu berubah-ubah padanya.
"Jangan lupa kabarin, ya?" pinta Cindy.
Reyhan mengangguk, ia mengambil koper yang sudah siap di sisi kirinya.
"Iya, tenang aja. Aku berangkat dulu."
Cindy mencium tangan sang suami dan dia sejenak untuk menunggu Reyhan mengecup keningnya. Tapi pria itu malah pergi dan meninggalkan Cindy di meja makan tanpa mengecupnya. Meninggalkan kebingungan lagi pada Cindy yang merasa suaminya sudah berbeda.
Ia tak memikirkan Reyhan lebih dalam dan memilih bersiap untuk pergi ke kafe. Ia berjalan ke halte yang ada di luar kompleks perumahan sederhana tersebut, menunggu bus yang akan datang menjemputnya.
Sepertinya ia sedikit terlambat, bus itu seharusnya datang 10 menit yang lalu, tapi sekarang Cindy tidak kunjung melihat adanya tanda-tanda bus yang lewat. Jika sudah seperti ini, maka Cindy tidak ada pilihan lain. Ia mengambil ponselnya dari dalam tas dan menelepon Zee.
"Iya, Zee. Kamu bisa ga jemput aku?"
"Aduh, Bos. Kalau sekarang lagi roasting biji kopi, gabisa ditinggal. Adelnya juga belum dateng," ucap Zee dari seberang telepon.
"Ah, yaudah, deh. Aku naik taksi aja."
"Maaf, ya, Kak Bos?"
"Iya, santai aja, Zee."
Akhirnya Cindy mengalihkan ponselnya untuk membuka aplikasi taksi online. Saat ia mencari taksi disana, tiba-tiba ada mobil sedan menghampiri Cindy dan parkir disamping trotoar. Cindy sedikit was-was, takut kalau ini adalah orang jahat. Tapi senyumnya langsung mengembang saat melihat Jinan yang keluar dari dalam mobil.
"Hei!" Jinan tersenyum membalas senyum Cindy padanya.
"Hei, Nan! Kamu ngapain disini?" tanya Cindy. Jinan duduk disamping wanita itu dan menemaninya disana.
"Lewat, sih. Itu rumah gue disana, terus kantor kan disana." Jinan menunjuk ke arah ujung-ujung jalan di sisi kiri dan kanan, menunjukkan letak rumah dan kantornya. Dan Jinan tidak menyangka kalau rumah Cindy ada di tengah-tengah.
"Oh, agak jauh ya rumah lo dari kantor?"
"Lumayan, sih."
"Pantes lo telat terus." Cindy terkekeh. Sementara Jinan yang merasa diejek langsung cemberut.
"Kaga tiap hari juga, elah."
Cindy kemudian menatap wajah samping gadis itu dan tersenyum tipis. Ia baru menyadari kalau Jinan ternyata gemas juga saat dilihat-lihat.
"Eh, lo udah sarapan belum?" tanya Cindy. Jinan menatapnya dan tersenyum lebar, "belum. Tapi bukan karena telat bangun. Lebih ke males."
"Kok males? Emang Mama lo masak apa? Yang ga lo suka?" tanya Cindy. Jinan lantas menggeleng menyangkal pertanyaan Cindy, "Mama kalau masak enak terus. Tapi emang lagi ga pengen aja."
Cindy mengangguk, "kalau gitu lo sarapan di rumah gue aja. Lo mau makan sama apa gue masakin."
Jinan terkejut karena tawaran Cindy, ia merasa tidak enak jika harus numpang makan di rumah wanita itu.
"Ga ah, ga enak gue. Masa numpang makan--"
"Ga ada penolakan. Ayo cepet! Buka mobil lo!"
Dan disinilah Jinan sekarang. Duduk di meja makan rumah Cindy yang sederhana dan melihat gadis itu sibuk sendiri di kompor, memasak nasi goreng untuk Jinan. Masih cukup waktu sepertinya karena masih jam 7 kurang sedikit.
Apa Jinan sudah memberitahu kalian kalau Cindy jika dilihat dari belakang terlihat sangat begitu cantik? Jika belum, maka Jinan beritahu sekarang lewat matanya yang tidak berkedip menatap wanita itu. Dengan kaos casual berwarna hitam saja Cindy sudah nampak mengesankan dari belakang, apalagi ditambah dengan rambut bergelombangnya yang dicepol karena sedang memasak sekarang.
Ah, aromanya sangat nikmat Jinan hirup-hirup. Mungkin memang masakan Cindy seenak sandwich waktu itu. Yang kata Kinan seenak buatan Veranda.
Tak berapa lama, sepiring nasi goreng spesial lengkap dengan sosis, kubis, dan telur ceplok setengah matang tersaji di depan Jinan.
"Makan, berdo'a dulu," ucap Cindy. Jinan langsung mengangguk. Ia sebenarnya santai karena tahu kalau suami Cindy pergi ke Bali bersama sang papa hari ini. Dan itu berarti selama satu minggu ke depan ia bisa menemani Cindy tanpa harus mengkhawatirkan Reyhan.
"Makasih, ya? Gue makan, nih. Bissmillah..."
Jinan langsung menyuap satu sendok penuh nasi goreng itu ke dalam mulutnya, sontak Jinan memejamkan mata karena merasakan sensasi enak pada nasi goreng buatan wanita itu.
"Mmhhh!"
Cindy menautkan alis saat melihat ekspresi Jinan yang tiba-tiba memejamkan mata, "gimana? Ga enak ya?"
Saat itu juga Jinan membuka mata dan menatap Cindy, ia menggeleng, "ga, justru ini nasi goreng paling enak yang pernah gue makan selain buatan Mama."
"Serius?" tanya Cindy dengan mata berbinar karena merasa dirinya dipuji oleh Jinan.
"Um! Enak banget, Cind! Nih ya, kalau punya nomer 1, nasi goreng lo di peringkat 1,01."
Wanita itu tersenyum karena pujian Jinan, "yaudah, abisin gih, abisin, Nan."
Dengan lahap Jinan memakan nasi goreng buatan Cindy dan terus memujinya. Cindy sendiri tersenyum sambil menggelengkan kepala, bagaimana bisa Jinan terus memujinya hanya karena nasi goreng.
"Wah, kenyang, Alhamdulillah..." Jinan mengusap-usap perutnya yang terasa penuh. Cindy terkekeh, ia melihat ada sebutir nasi yang masih menyangkut di sudut bibir Jinan. Ia lantas mengambil nasi itu dari sana dan membuat Jinan termenung.
"Udah gede tapi kok makannya kaya anak kecil, sih, Nan?" ucap Cindy sambil tersenyum. Astaga, Jinan malu sekali! Pipinya memerah apalagi saat Cindy mengusap ujung bibirnya.
"Tahan, Jinan. Tahan! Dia istri orang!" Batin Jinan berkecamuk, ia sepertinya sungguh jatuh hati pada Cindy tapi tidak banyak yang bisa ia lakukan.
"Hehe, makasih ya, Cind, udah dibuatin sarapan. Enak banget serius! 101/100 dari gue!"
Cindy terkekeh, "dikira masterchef apa pake dinilai segala?" Ah, andai Jinan bisa dimasakin Cindy tiap hari, pasti selalu good mood 24/7.
"Sama-sama. Seneng deh kalau lo suka masakan gue," balas Cindy.
"Emang enak banget. Keinget masakan Mama jadinya."
"Kalau mau, mampir kesini aja, ntar gue masakin buat lo."
Jinan sih, mau mau saja. Mau banget malah! Kalau bisa tiap hari. Tapi ya, Jinan masih sadar untuk tidak membiarkan perasaannya jatuh terlalu dalam pada Cindy.
"Ga ah, ngrepotin banget gue keliatannya."
"Loh, ga repot gue, mah. Justru seneng, keknya lo suka banget sama masakan gue."
"Sandwich kemaren juga enak banget, Cind."
Cindy mengangguk, ia tersenyum karena melihat Jinan yang nampak excited saat membahas rasa masakannya.
"Yaudah, ayo. Lo mau ke kafe, kan? Gue anter sekalian." Jinan mengajak Cindy untuk pergi sekarang karena jam sudah menunjukkan pukul 7 lebih 18.
"Eh, gue naik taksi aja, Nan, gapapa," tolak Cindy karena merasa tidak enak. Padahal Jinan juga sudah merepotkannya tanpa sadar.
"Udah ayo, ga ada penolakan, ya?"
Akhirnya Cindy ikut Jinan berangkat dan gadis itu mengantarnya sampai ke kafe. Saat Cindy dan Jinan turun dari mobil untuk kemudian masuk ke kafe, Zee dan Adel saling bertatapan. Sedikit aneh melihat para Bos datang bersamaan hari ini.
"Lo kalau pulang jam berapa biasanya?" tanya Jinan. Cindy yang berjalan bersamanya berhenti di depan kasir dan menatap Jinan dengan lekat, "ga pasti sih, biasanya kalau kafe dah mau tutup ya gue pulang."
"Yaudah, ntar gue jemput juga disini."
"Eh gausah, Nan, gue bisa--"
"Eits, ga ada penolakan, oke? Ok. Yaudah kalau gitu gue berangkat ke kantor dulu."
Cindy hendak menahan Jinan untuk menolak tapi gadis itu keburu berjalan ke pintu keluar.
"Eh, americano keknya enak juga. Zee, americano take away 3 deh, ya?"
"Siap, Bos!"To be continue...
![](https://img.wattpad.com/cover/327675137-288-k212983.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐏𝐥𝐚𝐲𝐢𝐧𝐠 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐅𝐢𝐫𝐞 | 𝐂𝐢𝐍𝐚𝐧
Fiksi Penggemar"Jinan bego, suka kok sama istri orang." -Aya JNN x CND gxg • mature content HeroesLegacy©2022