20. Khawatirnya Seorang Mama

1.1K 132 14
                                    

Hujan deras berpetir turun lagi malam ini. Angin yang bertiup kencang turut membasahi bumi dengan airnya yang nampak bergelombang di udara.

Di sebuah rumah, wanita 40 tahunan terduduk melamun di depan jendela kamarnya, dimana pemandangan hujan dan cahaya kilat nampak menyala-nyala dari luar.

Wajahnya terlihat khawatir, ia bahkan sampai menggigit-gigiti kukunya karena gugup akan sesuatu.

Tentu hal sekecil ini tidak luput dari perhatian sang suami yang baru saja menutup laptopnya. Dengan helaan napas panjang ia melepaskan kacamata baca dari wajah dan menaruhnya diatas nakas. Kemudian ia berjalan menghampiri sang istri yang masih berdiri disana dengan keadaan yang sama.

"Nju? Kenapa?" Pertanyaan lembut itu terdengar di telinga Shania, ia merasakan lengan sang suami melingkar di perut namun tidak mengacuhkannya sama sekali.

"Kepikiran Cindy lagi? Dia pasti baik-baik aja, Nju. Jangan khawatir."

Shania langsung berbalik dan menatap Bobby dengan mata yang sudah berkaca-kaca, "tapi ujannya gede banget, By. Petirnya juga keras banget dari tadi. Dia pasti ketakutan disana terus--"

"Hei, hei, tenang okay? Suaminya pasti jagain Cindy."

Wanita itu terus menggeleng mendengar ucapan Bobby, "aku ga yakin, By. Kamu tau sendiri Reyhan itu orangnya suspicious banget. Gimana kalau Cindy--"

"Kenapa overthinking banget, sih, Sayang? Cindy udah dewasa juga, kan? Dia nurunin sifat dewasa kamu, jadi jangan takut."

Shania lantas melipat tangan di depan dada dan mengubah air muka jadi kesal.

"Harusan dulu ga aku kasih izin dia nikahin anak aku. Bagusan aku jodohin dia sama anaknya Kak Ve."

Bobby tersenyum getir saat itu, "ya gimana, Sayang, kan Cindy cintanya sama dia."

Shania lantas diam, tidak kurang setiap malam ia menyesali keputusannya membiarkan Cindy pergi dengan pria itu. Dan setiap hari pula ia menunggu Cindy pulang, menangis, mengadu padanya tentang lukanya akan rumah tangga atau apa. Tapi ia kira Cindy masih kuat bersama Reyhan disana. Hanya saja yang ia tidak tahu adalah anak sulungnya sering menangis sendiri karena hatinya terluka. Tidak ada tempat mengadu sampai sosok itu datang, sosok yang ingin sekali ibunya lihat sebagai menantu-- Jinan.

"Kalau kamu masih khawatir sama Cindy, biar besok adiknya ikut awasin. Gimana?"

* * *

"Jadi setahun ini kamu ga kontakan sama Mama Papa kamu, Sayang?"

Cindy menggeleng di pelukan Jinan selagi gadis itu mengusap-usap rambutnya dengan lembut.

Keduanya kini tengah tiduran diatas kasur Jinan, barusan Cindy menghubungi Reyhan kalau dia izin menginap di rumah Jinan lagi karena tadi tidak sengaja bertemu Veranda. Dan karena hujan badai ini, ia tidak bisa pulang. Reyhan yang mengetahui istrinya di rumah sang Bos dan mulai dekat dengan Veranda langsung terdengar senang karena Cindy benar-benar mengikuti rencananya untuk memanfaatkan keluarga Jinan.

Dasar bego.

"Kamu sama dia sama aja kawin lari, dong?"

"Tapi orang tua aku ngerestuin, Nan. Cuma sampe sekarang mereka gasuka sama Reyhan, dan kaya ngejauh gitu dari aku."

"Yaudah, kamu pisah aja sama dia. Terus sama aku."

Cindy lantas mendongak, menatap Jinan dengan mata yang menyipit, "enteng banget kalau ngomong."

Jinan tersenyum, di dalam hati ia tahu kalau sebenarnya Cindy masih memiliki cinta untuk Reyhan. Hanya saja kini hatinya terbagi dua, dan tidak menampik kemungkinan kalau nanti Cindy harus memilih salah satu. Baru dua hari, Jinan harus sabar sampai the showtime tiba.

𝐏𝐥𝐚𝐲𝐢𝐧𝐠 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐅𝐢𝐫𝐞 | 𝐂𝐢𝐍𝐚𝐧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang