02. Pain is Beautiful

1.7K 186 0
                                    

    "Tumben belum pulang, Kak Nan?" Seorang gadis yang menjadi teman kantor satu divisi Jinan bertanya karena tidak biasanya ia melihat gadis itu masih berada di kantor saat jam sore seperti ini. Memang hanya beberapa orang yang tahu kalau Jinan adalah anak CEO, Jinan sengaja meminta sang Ayah untuk merahasiakannya karena ingin menghindari pengistimewaan dari orang-orang di kantor. Hanya beberapa teman Jinan dan orang kepercayaan sang Ayah yang tahu, dan salah satunya adalah Celine.
   
    "Belum, Celine. Mau lembur, sih, hari ini. Kamu lembur juga?" tanya Jinan. Kacamata minusnya masih menghiasi wajah ayu gadis itu. Sedangkan gadis berparas oriental disampingnya hanya mengangguk sambil menyesap kopi dari cangkirnya.
   
    "Ga jemput adik-adik Kak Jinan? Biasanya mereka pulang jam segini, kan?" tanya Celine lagi.
   
    "Tadi sih Ayah bilang mau jemput mereka sama Mama. Sekalian ajak mereka makan bareng gitu."
   
    "Loh, kok Kak Jinan ga ikut?" Alis Celine terangkat naik, tapi Jinan kemudian menoleh padanya dan ikut menyipitkan mata. Bibirnya tersenyum miring dan wajahnya mendekat ke arah Celine, "aku sedang memantau sesuatu, Celine. Sebenarnya Ayah menempatkanku disini buat jadi intel," bisik Jinan.
   
    Celine langsung melebarkan mata saat mendengar itu, ia menatap Jinan tak percaya, "ih, Kak Jinan ngerjain Celine, ya?! Ish!"
   
    Sungguh, Celine ingin sekali mencubit Jinan yang tengah tertawa puas sekarang. Beruntung ia ingat kalau Jinan ini pewaris tahta perusahaan ini, jadi Celine menahan untuk tidak baku hantam dengan Jinan agar masih bisa bekerja disini.
   
    Sampai jam 9 malam Jinan bekerja lembur karena tadi ayahnya yang meminta gadis itu untuk mengerjakan sesuatu selama ia pergi bersama sang Mama dan dua adiknya. Jinan sendiri hanya menurut pada sang Ayah karena memang ia begitu anaknya. Tidak ada kasih yang Jinan miliki melebihi kasih dan sayangnya pada keluarga.
   
    Celine kembali menghampiri Jinan saat ia sudah selesai dengan pekerjaannya dan hendak pulang. Ia mengintip sejenak pada layar komputer gadis itu yang masih terpampang interface pengolah dokumen.
   
    "Masih banyak kerjaannya, Kak?" tanya Celine.
   
    "Dikit lagi ini, Celine. Kamu mau pulang?"
   
    Gadis itu menatap ke arah cangkir kopi Jinan yang sudah kosong. Ia kemudian mengambilnya dan pergi begitu saja dari meja kerja gadis itu. Tak butuh waktu lama untuk Celine kembali dengan cangkir yang sama dengan isi kopi panas yang aromanya mengharum mengisi paru-paru.
   
    "Nah minum nih, kopinya, Kak. Celine gabisa nemenin malam ini karena ada acara di rumah. Jadi ditemenin kopi dulu," ucap Celine sambil menaruh cangkir kopi itu ke meja Jinan. Mata Jinan berbinar melihat cangkirnya sudah penuh lagi, ia hendak membuat kopi tadi namun lupa. Beruntung ada Celine yang selalu baik dan perhatian padanya.
   
    "Wah, makasih ya, Celine. Baik banget deh."
   
    Celine hanya tersenyum, menepuk bahu Jinan sekejap kemudian pergi dari sana dan meninggalkan Jinan yang masih berkutat dengan file-filenya.
   
    Hingga pukul 9:39, Jinan baru bisa keluar dari kantor dan langsung mengendarai sedannya menuju ke rumah keduanya. Ya, bukan rumahnya, tapi rumah keduanya. Yakni kafe Aurora.
   
    Ini pertama kalinya Jinan datang semalam ini, kafenya sepi dan sepertinya hampir tutup karena beberapa kursi sudah dinaikkan ke atas meja. Awalnya ia sedikit ragu untuk masuk, tapi karena seorang pelayan yang sudah hafal dengan Jinan membolehkannya masuk maka ia mengiyakan saja.
   
    Jinan hanya memesan kue red velvet dengan susu hangat karena ia merasa lapar malam ini. Apalagi seharian ini ia sudah terlalu banyak minum kopi, jadi ia pikir untuk mengurangi minum minuman tersebut untuk beberapa waktu kedepan.
   
    Ketika ia menikmati hidangan tersebut, mata Jinan langsung tertuju pada seorang gadis seumurannya yang turun dari lantai dua dengan terburu-buru. Sesekali ia mengusap pipinya yang Jinan yakini pasti habis menangis. Mata Jinan tidak mengalihkan pandangan dari gadis itu walau sedetik, gadis dengan paras manis itu berjalan mendekati meja kasir dan dua orang pegawai itu langsung mendekat ke arahnya. Nampak sang gadis mengulurkan sebuah kunci pada mereka kemudian pergi begitu saja.
   
    Jinan langsung bangkit dan menghampiri meja kasir setelah gadis itu keluar kafe.
   
    "Dia kenapa?" tanya Jinan pada dua pelayan itu. Mereka nampak khawatir karena sesuatu yang Jinan pikir pasti menyangkut gadis tersebut.
   
    "Eh-- anu, Bos. Itu... Aduh, gimana ya?" Adel sedikit bingung bagaimana harus menjelaskan pada pelanggan setia mereka ini. Ia kemudian menyenggol lengan partner disampingnya untuk membantu menjelaskan pada Jinan, "Zee, lo jelasin, gih!"
   
    "Eh, kok gue, sih?"
   
    "Ya lo aja. Demi Bos, tuh. Keknya dia lagi butuh orang buat dengerin," bisik Adel pada gadis bernama Zee itu.
   
    Zee juga berpikir demikian, gadis yang dilihat Jinan tadi adalah sang bos alias pemilik kafe ini. Orang yang kata Chika selalu dipantau oleh Jinan. Entah kenapa ia tidak ingin bercerita pada Zee dan Adel, dan hal itu juga yang membuat kedua gadis itu berpikir bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk Jinan berkenalan dengan sang Bos. Maksudnya, hey, siapa yang tidak menyadari pergerakan Jinan untuk dekat dengan bos mereka? Seseorang datang ke kafe setiap hari itu biasa, tapi tersenyum ketika melihat sang Bos lewat cukup membuat Adel dan Zee merasa bahwa Jinan adalah orang yang mencurigakan.
   
    "Eo-- anu, Bos. Itu tadi... Bos abis berantem keknya sama suaminya. Udah sering banget, tapi dia gamau cerita ke kita dan selalu dipendem sendiri," jelas Zee. Mata Jinan sedikit melebar ketika mendengar apa yang dikatakan gadis itu barusan.
   
    "Dia... Sudah punya suami?"
   
    Zee sedikit gugup sekarang, ia menyenggol lengan Adel untuk memintanya menjelaskan sekarang.
   
    "Eh... B-baru setahun, Bos. Tapi... Keknya Bos ga pernah bahagia abis itu. Gatau kenapa. M-makanya kita mau minta tolong ke Bos buat... Hibur Bos kita, gitu." Nada bicara mereka terdengar gugup, entah karena takut atau khawatir pada suatu hal tapi Jinan lebih terkejut karena mendengar bahwa gadis yang ia suka selama ini sudah memiliki suami.
   
    "Kita khawatir gitu sama Bos. Dia udah sering banget nangis, siapa tau gitu Bos bisa temenan sama Bos kita gitu hibur dia." Jinan sedikit berpikir, ia sudah mengira jika perasaannya salah dan akan menimbulkan masalah. Dan jika mengiyakan permintaan dua gadis ini, sepertinya Jinan akan lebih banyak mendapatkan masalah di kemudian hari.
   
    "Dia kemana tadi?"
   
    "B-biasanya Bos selalu nenangin diri di taman deket sini, Bos. Yang di ujung trotoar situ."
   
    Jinan mengangguk, ia mengeluarkan dompet dan menarik 5 lembar uang seratus ribuan dan diberikan pada mereka.
   
    "Thanks, ya?"
   
    Dua gadis itu kebingungan melihat Jinan yang berjalan pergi keluar kafe dengan buru-buru. Uang yang Jinan berikan terlalu banyak untuk sepiring red velvet dan segelas susu hangat.

𝐏𝐥𝐚𝐲𝐢𝐧𝐠 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐅𝐢𝐫𝐞 | 𝐂𝐢𝐍𝐚𝐧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang