16. Our Love is On Fire🔥

1.7K 149 13
                                    

Makan malam akbar yang diadakan di hall langsung terasa hangat saat meja utama dimana keluarga besar Kinan duduk bersama orang-orang yang kini menjadi jajaran penting di Mahagita Corp duduk mulai mengobrol santai. Dengan Kinan yang duduk di paling ujung meja, ia mempersilahkan semua orang untuk memakan jamuan yang sudah dipersiapkan.

Sedikit canggung bagi Jinan untuk berada disini, meski ada Veranda dan dua adiknya juga, tapi Jinan tidak berhenti melirik pada Cindy yang duduk di sisi seberang dan berjarak 2 orang darinya.

Kinan dengan santai bertanya-tanya tentang kehidupan para karyawan di meja itu dan sesekali membandingkan dengan Jinan atau dua anaknya yang lain. Banyak juga yang menerima nasehat dari Kinan untuk hal-hal sederhana, sesederhana memilih oli mobil.

Dan saat Kinan bertanya pada Reyhan soal hubungannya dengan sang istri, Jinan langsung menatap sang ayah karena khawatir ia menyinggung soal anak. Itu pasti akan menyakiti hati Cindy lagi.

"Ah, tidak apa-apa. Mungkin memang belum waktunya kamu dikasih momongan, Rey," ucap Kinan saat mengetahui bahwa pasangan itu belum memiliki anak, "dulu kita juga lama ya Ma nunggu Jinan muncul?"

Veranda mengangguk, "hampir dua tahun, malah. Jadi jangan sedih. Usaha terus aja sama jangan lupa berdo'a."

"Iya, Bos, Nyonya Bos. Kalau soal usaha mah, jangan ditanya." Ucapan Reyhan sontak membuat semua orang disana tertawa bahkan Kinan juga. Hanya Jinan yang tidak, juga Chika dan Marsha karena mereka memang sudah kesal sejak awal melihat Cindy dengan suaminya. Namun Cindy sendiri sendiri malah merasa malu karena itu sampai mencubit perut Reyhan yang duduk di sampingnya.

Jinan merasa bad mood tiba-tiba, ia benci sekali jika seperti ini. Padahal ia sudah berusaha melupakan Cindy seperti apa yang Aya bilang, tapi malam ini seperti runtuh begitu saja tembok yang ia buat.

"Pa, Ma, Jinan izin ke toilet, ya?"

"Kenapa, Nan? Sakit perutnya?" tanya Veranda yang khawatir karena wajah Jinan tiba-tiba terlihat pucat.

Jinan lantas mengangguk kecil dan Kinan memberi izin untuk gadis itu pergi, "kalau ga kuat pulang duluan aja gapapa. Minta anter Aya atau Om Hans," ucap Kinan yang hanya dibalas anggukan.

Jinan berdiri kemudian ia membungkuk untuk meminta maaf pada semua jajaran penting di disana karena meninggalkan meja makan terlebih dahulu.

Melihat kakaknya pergi begitu saja membuat Chika dan Marsha saling bertatapan. Tentu mereka tahu kalau Jinan tidak benar-benar sakit perut. Melainkan sakit hati.

Di toilet, Jinan memandang cermin besar di atas wastafel dimana pantulan dirinya terlihat. Wajahnya masih nampak rupawan seperti biasa, hanya saja yang Jinan lihat hanya kekacauan yang berserakan di dalam batinnya sendiri.

"Ayo Jinan, lo ga boleh kek gini..." gumam Jinan pada dirinya sendiri. Ia menunduk dan berusaha menahan air matanya yang hendak keluar saat itu.

Saat Jinan pergi tadi, Aya mengikutinya, mengetahui Jinan sedang tidak baik-baik saja membuat Aya ikut khawatir. Ia berdiri di depan pintu toilet dan memastikan tidak ada orang yang masuk karena VIP sedang ada di dalam.

Mata Aya bingung saat melihat Cindy berjalan ke arahnya dari kejauhan. Sepertinya akan jadi masalah jika Jinan bertemu dengan orang ini. Tapi menurut Aya yang Jinan butuhkan sekarang hanya Cindy.

"Cind--"

Plak!!

Mata Aya membulat saat pipinya terasa perih akibat Cindy menamparnya begitu saja. Ia bisa melihat ada amarah di mata dan air muka gadis itu, tapi Aya tidak tahu kenapa ia ikut kena tampar?

𝐏𝐥𝐚𝐲𝐢𝐧𝐠 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐅𝐢𝐫𝐞 | 𝐂𝐢𝐍𝐚𝐧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang