11. Tentang Jinan, Dari Mulut Chika

1.1K 150 2
                                    

Hari demi hari sepertinya kedekatan Jinan dengan Cindy semakin terasa manis. Perhatian demi perhatian juga saling mereka berikan meski itu hanya sekecil mengingatkan makan via chat. Hanya hal-hal seperti itu tapi membuat Jinan senang bukan kepalang. Sampai-sampai Celine dan Christy mengira Jinan sudah gila.

Hari ini Chika duduk sendiri di kafe Aurora, tugasnya untuk mengobservasi itu sudah hampir rampung dan beberapa kali sudah ia revisi. Hanya saja ia masih tetap butuh bantuan Cindy kalau-kalau ada data yang salah, itulah sebabnya dia sering kesini setiap pulang kuliah sekarang. Apalagi hidangan disini enak dan suasananya nyaman.

"Loh, Chika? Kok sendiri? Jinannya mana?" Gadis bergummy smile itu menoleh dan tersenyum saat melihat Cindy turun dari lantai dua dan menghampirinya.

"Aduh, kenapa harus nyari yang ga ada sih, Kak? Nyari aku aja nih, ada disini dari tadi. Kak Jinan mah lagi busy."

Chika sendiri menyadari kedekatan kakaknya dengan Cindy sekarang juga makin menjadi-jadi. Dan alasan menemani Chika mengerjakan tugas di kafe sedikitnya membantu Jinan untuk dekat dengan gadis itu. Ah, dia harus minta bayaran untuk ini!

"Abisan kamu biasanya sama Jinan, Chika."

"Hm, Kak Jiban lagi jemput Marsha, Kak. Udah jam pulang sekolah dia."

Cindy mengangguk saja, ia duduk di dekat Chika dan menemaninya mengerjakan sisa tugas disana.

"Kamu sama Jinan emang sering berantem gitu, ya?" tanya Cindy, rasa ingin tahunya tentang Jinan masih menjadi. Dan sekarang mumpung orangnya ga ada, bagus untuk mengorek-ngorek hal yang menarik tentang Jinan.

"Dari dulu sih, Kak. Cuma ya berantemnya kek gitu-gitu aja. Kak Jiban mah suka godain aku sama Marsha, ya kita juga cuma bales dendam aja sama dia," jawab Chika tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.

"Marsha itu adek Jinan juga?"

Chika mengangguk menjawabnya, "si Bungsu. Dia yang masih SMA, Kak."

Bibir Cindy membentuk huruf O mendengar itu. Baru tau kalau Jinan ini 4 bersaudara, pasti ramai sekali rumahnya.

"Kok waktu aku main ke rumah Jinan, rumahnya sepi? Kalian pada kemana?" tanya Cindy. Chika langsung bingung karena seingatnya Cindy belum pernah main ke rumah mereka. Apalagi Chika selalunya di rumah karena kuliahnya pulang setelah makan siang.

"Mungkin aku sama Marsha lagi ga di rumah, Kak," jawab Chika santai. Ada juga kemungkinan mereka di kamar atau pergi keluar entah kemana dan tidak bertemu Cindy.

"Jinan sayang banget ya sama kalian?" Cindy menopang dagunya sambil menatap Chika. Rasanya ingin mendengar banyak hal tentang Jinan keluar dari mulut gadis itu.

"Beuh, bukan main sayangnya, Kak. Walau nyebelin tapi Kak Jinan selalu prioritasin adik-adiknya. Perhatiannya meski cuma hal-hal kecil tapi sering. Apalagi kalau aku sama Matcha kena masalah, Kak Jinan bakal selalu maju paling depan, malah di depan Papa sama Mama sendiri."

Cerita Chika membuat Cindy semakin kagum pada gadis itu. Meski baru mengenal Chika beberapa hari, tapi rasanya tidak mungkin jika ia mengada-ngada hanya untuk membuat Jinan jadi lebih baik di sudut pandang Cindy.

"Pernah kan, Kak, si Marsha digodain gitu sama cowok di sekolah SMPnya dulu. Pulang-pulang dia nangis terus ngadu ke Mama Papa. Nah, Kak Jinan ni langsung ke sekolah nanyain alamat tu cowok, dia susul ke rumahnya terus dipukulin di depan orang tuanya."

"Sampe kek gitu?" Mata Cindy membulat, rasanya ia tidak percaya dengan apa yang diucapkan Chika barusan.

"Iya, Kak. Tu cowok masuk rumah sakit dan ujung-ujungnya Papa juga yang selesaiin. Soalnya waktu itu Kak Jinan masih awal-awal kuliah gitu, pas itu Kak Jinan lagi nakal dan bandel-bandelnya. Denger adeknya digituin orang sampe nangis ya emosi lah dia."

"Jinan dulu nakal?"

"Dulu doang, Kak. Sekarang mah bandelnya doang yang masih, suka ga nurut kalau dibilangin Mama Papa. Tapi udah dewasa juga, jadi kalem dan banyak mikir dulu sebelum bertindak sekarang." Banyak ternyata hal rahasia Jinan yang Cindy belum tahu. Kejutan-kejutan yang Jinan berikan bahkan dari masa lalunya justru membuat Cindy semakin penasaran.

Chika menyeruput kopinya melalui sedotan, tenggorokannya sedikit kering akibat bercerita panjang lebar pada calon kakak iparnya ini.

"Terus, Jinan punya pacar ga sekarang?"

"Uhuk!"

Gadis itu tiba-tiba tersedak karena pertanyaan Cindy yang sedikit sensitif itu. Bagaimana ia harus menjawab kalau yang Jinan ingin jadikan pacar itu adalah Cindy sendiri? Bagaimana cara mengatakan kalau kakaknya suka sama Cindy?

"Eh-- pelan-pelan, Chika. Jadi tersedak, kan. Aduh..." Cindy dengan cekatan langsung mengambil sehelai tissue dari atas meja dan mengusapkannya pada sudut bibir Chika yang terkena kopi akibat batuk itu.

Aduh, perhatian Cindy juga membuat Chika ikut melting. Apa dia bilang saja ya biar Cindy cepat-cepat jadi kakak iparnya?

"Aduh, maaf, Kak."

"Hati-hati makanya. Minum itu dinikmati juga, gausah buru-buru."

Disela-sela kejadian itu, Jinan sudah kembali dari sekolah Marsha dan membawa serta gadis itu ke kafe untuk sekalian menjemput Chika. Melihat sang adik masih sibuk bersama Cindy membuat Jinan memutuskan untuk tinggal sejenak disini.

"Cha, pesen gih, Kak Jinan pesenin americano kek biasa."

"Oke, Kak. Tapi Kakak yang bayar." Kedua tangan Marsha terulur di depan wajah Jinan. Dan sang kakak yang tahu maksud gadis itu langsung menghela napas pelan sambil membuka dompet lalu memberikan sebuah kartu pada Marsha.

"Ashel bayarin sekalian," ucap Jinan. Marsha mengangguk sambil tersenyum lalu merangkul Ashel yang kebetulan juga ikut bersama mereka, "yuk, Shel. Kita pesen."

Keduanya mengantre sebentar, ada dua pelanggan lain di depan mereka dan itu tidak menjadi masalah. Saat sudah giliran keduanya, Marsha dan Ashel membuka masker untuk mengucapkan apa yang mereka ingin beli. Zee yang saat itu berjaga langsung tersenyum lebar melihat siapa yang datang.

"Udah? Itu aja?" tanya Zee saat ia selesai mencatat pesanan Marsha.

"Udah, Shel, kamu mau tambah apa?" Marsha menoleh pada Ashel yang masih melihat-lihat menu di kafe itu.

"Aku laper deh, Cha. Pesen nasi goreng boleh, ga?"

"Boleh, boleh banget. Sama satu nasi goreng ya, Kak?" ucap Marsha pada Zee.

Okay, saat Marsha membayar, Zee memberikan pesanan itu pada Adel di dapur. Mengetahui ada pesanan yang kurang jelas, Adel langsung keluar dan hendak bertanya pada temannya itu.

"Ngab, ini nasgornya pake telor ga?" tanya Adel.

"Eng, pake, Kak. Kalau bisa yang setengah mateng, hehe."

Adel langsung menoleh pada meja kasir, dimana Marsha berdiri dengan seorang gadis yang juga memakai seragam SMA yang serupa sepertinya.

"Tuh, Ngab, pake yang setengah mateng. Ini kartunya ya, Kak. Ini notanya. Makasih." Zee memberikan kartu itu kembali pada Marsha lalu gadis itu pergi menyusul ke meja Chika.

Zee berbalik dan melihat Adel yang masih berdiri disana dan bukan kembali ke dapur.

"Loh, Ngab? Lo kenapa?" tanya Zee yang bingung.

"Buset, Zee. Circle Bos Jinan kenapa bidadari semua, dah?"

* * *

"Hoaaammmmm..."

"Buset, kek kudanil lo, Kak." Chika menatap kesal pada Jinan yang mengusap selebar 3 jari. Tidak ada jaga image sama sekali di depan Cindy.

"Ngantuk banget gue, Blay," ucap Jinan.

"Tidur dulu aja, Nan. Diatas tuh ada sofa panjang," ucap Cindy. Mata Jinan sudah tinggal 5 watt sebenarnya, sejak di kantor ia sudah menahan ngantuk karena semalaman ia tidak tidur. Kinan memintanya mengerjakan sesuatu di rumah, dan mau tidak mau ia harus melakukannya.

"Iya, tidur dulu aja sana, Kak. Daripada ntar pas nganter Ashel pulang malah kecelakaan," ucap Chika.

Marsha langsung mengusap-usap kepalanya lalu ia ketukkan tangan itu ke meja, "ih, amit-amit."

Ada benarnya juga, Jinan kemudian menatap Cindy dan memintanya mengantar ke atas. Keduanya lantas naik ke lantai dua meninggalkan para adik.

Sampai di ruangan Cindy, Jinan langsung menuju ke sofa panjang yang ada di salah satu sisi ruangan dan menjatuhkan diri diatasnya. Dengan posisi tengkurap, Jinan langsung memejamkan mata dan tertidur disana.

"Lah? Udah tidur?" Cindy baru mau mengambil bantal di ruang sebelah, tapi Jinan ternyata sudah tertidur sampai terdengar dengkuran halus dari mulutnya.

Cindy langsung menggelengkan kepala karena melihat gadis itu yang ternyata 'pelor', alias nempel sedikit langsung molor. Ia mendekat ke sofa dan berjongkok sedikit untuk menatap wajah Jinan lebih dekat.

Tangan Cindy dengan perlahan menyingkirkan anak rambut Jinan yang menutupi wajahnya, lalu menyelipkannya ke belakang telinga. Wajah Jinan langsung terlihat jelas saat itu, membuat senyuman Cindy langsung tersungging.

"Gemes banget kalau lagi tidur gini."

Ia mengusap-usap pipi Jinan dengan perlahan agar gadis itu tidak terbangun. Puas menatap wajah Jinan, Cindy lantas bangkit dari jongkoknya. Ia masih membungkuk di depan gadis itu lalu mengecup pipi yang tadi ia usap dengan lembut. Kali ini kecupan itu sedikit lama. Mungkin juga lip balm Cindy tertinggal disana.

Jika Jinan dalam keadaan sadar, mungkin ia akan tidak sadarkan diri sekarang.

To be continue...

𝐏𝐥𝐚𝐲𝐢𝐧𝐠 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐅𝐢𝐫𝐞 | 𝐂𝐢𝐍𝐚𝐧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang