Sekolah Marsha bisa dibilang sekolah elit di kota. Tapi kehadiran Jinan yang menjemput sang adik kali ini membuat semua mata siswa melirik dirinya dengan pandangan kagum. Tidak hanya lelaki, bahkan para gadis berbisik ketika melihat gadis dengan blazer dan celana bahan panjang itu bersandar pada mobil, melipat kedua tangan di dada, dan menunggu kepulangan Marsha dari balik kacamata hitamnya.
Sungguh sosok gadis keren yang bisa membuat semua orang iri pada Marsha jika tahu kalau Jinan adalah kakaknya.
"Kak Jinan?" Sebuah suara menyapa Jinan dari arah depan mobil, Jinan langsung menoleh dan menatap siapa yang barusan memanggil namanya itu. Bukan sang adik, tapi temannya yang sudah sering Jinan lihat saat bermain ke rumah mereka.
"Nunggu Marsha, ya, Kak?" tanyanya.
Jinan langsung mengangguk, "iya, nih. Ashel liat ga tadi anaknya dimana?"
"Tadi masih di kelas sih, Kak. Masih nyatet materi, mungkin sedikit telat."
"Ah, masih di kelas, nih, Marshanya?"
Gadis bernama Ashel itu mengangguk, "Kak Jinan masuk aja kalau mau. Marsha sendiri tadi di kelas, Ashel tinggal karena Mama dah jemput."
"Ah, okelah kalau begitu. Terimakasih ya, Shel, Kak Jinan ke dalem aja. Salam buat Mama kamu."
Ashel mengiyakan, ia melambaikan tangan pada Jinan sebelum mereka berpisah di depan gerbang dengan Jinan yang masuk ke dalam area sekolah.
Jinan sendiri hapal dengan seluk beluk sekolah ini karena ia juga alumni disini. Meski banyak yang berubah, tapi ia tahu letak kelas Marsha berada. Tak butuh waktu lama sampai ia menemui kelas gadis itu, ia mengintip sedikit dari jendela dan benar kata Ashel bahwa adiknya masih disana dan terlihat sedang mencatat materi di papan tulis.
"Rajin amat dah jadi murid, sampe mau nginep di sekolah," ucap Jinan saat ia memasuki kelas 12 itu. Marsha sedikit terkejut karena kedatangan Jinan, ia sampai mendongak dan menatap sang kakak yang masuk ke dalam dan duduk disampingnya, satu meja.
"Eh, kok Kak Jinan yang jemput?"
"Wah, gamau lagi nih dijemput kakaknya?" tanya Jinan penuh selidik. Marsha terkekeh sambil menggeleng, ia kemudian lanjut fokus pada materi yang baru separuh papan tulis ia catat di bukunya.
"Biologi, siapa nih gurunya?" tanya Jinan saat ia membaca materi itu. Ya, Marsha anak IPA disini. Dari semua keluarga Jinan, hanya dia sendiri yang IPS, bahkan dulu Mama Papanya bertemu karena satu pertemuan praktek gabungan di laboratorium Fisika.
"Bu Dhike, Kak. Kakak tahu?"
"Tau dong, dulu pernah kena marah karena Kakak patahin keran air kamar mandi. Galak ga dia kalau sama kamu?" tanya Jinan.
Marsha menggeleng, "ga, Bu Dhike seru orangnya. Lawak, terus keren juga. Kaya Kak Jinan."
"Wah, emang susah sih jadi gue, keren dari lahir gitu," ucap Jinan dengan teramat sangat percaya diri. Adiknya itu mendengus karena mendengar kesombongan Jinan yang entah kapan akan berakhir.
"Loh, ga percaya kamu? Emang Tante Gre gapernah cerita kalau dulu pas Kak Jinan lahir orang-orang bilang gini, 'aduh, cantiknya mirip Veranda, kerennya mirip Kinan', gitu?"
"Kak, Tante Gre masih terlalu sadar untuk ga ngigo kek gitu. Udah ah jangan sok kecakepan."
Jinan terkekeh karena melihat reaksi dari sang adik. Ia kemudian menemani Marsha sampai selesai menulis materi Biologi tersebut. Saat keluar dari kelas, Jinan malah berpisah jalan dengan Marsha, ia ke kanan, dan sang adik malah ke kiri.
"Loh? Kok kesitu? Ga ke kantor guru dulu?" tanya Jinan. Marsha yang kebingungan lantas menaikkan alis kirinya, "lah, ngapain ke kantor guru?"
"Itu ngumpulin catetan kamu ke Bu Dhike?"
"Lah, ini mah ga dikumpulin, Kak."
"Hah?! Kalau ga dikumpulin kenapa ga dipoto aja tadi terus dicatet dirumah, Maemunah?"
Marsha langsung menepuk jidatnya karena baru sadar ada cara lain yang lebih efisien daripada ini.
"Lah iya, ya?!"* * *
Saat makan malam di rumah, suasana terasa sangat hangat seperti biasanya malam ini. Banyak yang Chika dan Marsha ceritakan tentang sekolah dan kuliah mereka sampai-sampai Kinan dan Veranda menanggapi dengan serius.
Sementara Jinan hanya mendengarkan sambil makan, sesekali ia menimpali dan ikut dalam perbincangan. Tapi ada sesuatu yang seperti mengganjal di hatinya yang entah apa.
Menyadari si Sulung hanya diam dan tidak secerewet biasanya ketika mendengar cerita Chika soal orang yang mengganggunya di kampus membuat Kinan bingung. Ah, dia jadi ingat ada sesuatu yang ingin ia bicarakan pada Jinan.
"Jinan Safa Safira Tanumihardja?"
Gadis itu langsung mendongak ketika mendengar sang Papa memanggilnya dengan nama lengkap, sekalian marganya pula. Bahkan Veranda, Chika, dan Marsha ikut mengalihkan perhatian dari makanan mereka dan menatap dua orang itu. Pasti ada hal penting yang akan Kinan katakan atau tanyakan pada Jinan.
"Iya, Pa?"
Kinan dengan santai menyuap nasi dan daging rendang yang malam ini jadi menu makan mereka, membuat Jinan dan yang lain menunggu apa yang ingin dikatakan pria itu.
"Papa rasa ini sudah waktunya kamu naik jabatan, Nan."
"Kinan, kamu serius?" tanya Veranda. Semua anak-anaknya masih terlalu terkejut mendengar apa yang Kinan ucapkan barusan. Bahkan Jinan sekalipun.
"Aku serius, Ve. Jinan udah bekerja keras selama ini. Aku liat-liat, dia juga bagus kerjanya walau cuma di divisi biasa tanpa gunain hak-hak istimewanya. Mungkin udah saatnya ngumumin kalau Jinan adalah anakku."
"Pa, Jinan keknya belum siap buat itu, masih banyak hal yang pengen Jinan pastiin, Pa," ucap Jinan. Ia memandang pria paling tegas namun penyayang itu yang duduk di ujung meja.
"Hm? Apa lagi yang mau kamu pastiin, Nan?" tanya Kinan pada anak sulungnya.
Chika yang melihat keraguan di wajah gadis itu langsung mengangguki apa yang ditanyakan oleh sang ayah, "iya deh, apa lagi yang Kak Jinan raguin? Mumpung ada kesempatan, nih. Lagipula, kalau Kak Jinan udah dikenal sebagai Nona Muda Mahagita Corp, gebetan Kak Jinan tuh bakal makin mau sama Kakak," ceplos Chika begitu saja."Bener kamu punya gebetan, Nan?" tanya Ve.
Jinan langsung menatap Chika tajam karena ulah gadis itu Ve dan Kinan jadi mempertanyakan kebenarannya.
"Punya, Ma. Orangnya punya kafe jadi Kak Jinan mampir terus kesana sekarang." Kali ini Marsha yang membantu Chika membuka aib-aib sang kakak.
"Heh! Kalian kenapa lemes banget sih?!" ujar Jinan kesal. Moodnya tiba-tiba memburuk karena ini, mengingat Cindy membuatnya merasa sedih kembali.
Jinan kemudian berdiri dari meja makan dengan air muka yang sudah terlihat sangat kesal.
"Nan?" panggil Ve.
"Jinan udah kenyang, Ma. Jinan ke kamar dulu." Veranda menatap punggung gadis itu dengan mata nanar. Tidak biasanya ia meninggalkan meja makan dan makan malam seperti ini. Veranda pikir pasti ada sesuatu yang salah dengan anak sulungnya itu.
Sementara itu di kamarnya, Jinan duduk di meja yang dulu ia gunakan untuk belajar dan kini lebih sering digunakan untuk bekerja. Di telinganya tersumpal dua earphone yang memutar lagu dari playlist favoritnya. Sementara itu, tangannya sibuk menggambar sesuatu yang entah apa, hanya corat-coret yang tidak jelas.
Tanpa ia sadari, pintu kamarnya terbuka dan seseorang muncul dari luar. Pria paling tampan di rumah ini tersenyum karena melihat gadis itu yang masih seperti anak kecil.
"Nan?" panggilnya, tapi Jinan tidak menoleh karena memang tidak mendengar panggilan itu. Baru saat sang ayah mengusap bahunya, Jinan tersadar dan melihat papanya sudah duduk di tepi ranjang.
Jinan lantas melepas earphonenya karena hadirnya sang Papa disini, "Pa? Kenapa?"
Kinan tersenyum, sedikit mirip Jinan jika dilihat-lihat. Mungkin itu juga yang membuat Jinan dekat pada sang Papa.
"Papa mau tanya, kalau kamu nanti naik jabatan, kamu kan perlu sekretaris. Nah, kamu mau cari sekretaris sendiri atau Papa yang carikan? Kalau mau pilih salah satu temen kamu, Papa mau awasin dia dari sekarang biar siap bantu kamu nanti."
Mata Jinan nampak nanar mendengar itu, sepertinya hal ini akan benar-benar terjadi suatu saat. Padahal Jinan suka kerja ringan seperti sekarang, tidak perlu memikirkan hal berat seperti sang Ayah.
"Nanti deh, Pa, Jinan kasih tau. Soalnya ada beberapa hal yang harus Jinan urusin sekarang sebelum naik jabatan."
Kinan mengangguk, ia paham dengan permintaan sang anak tapi tidak mengerti tentang hal apa yang ingin Jinan lakukan.
"Baiklah, habiskan waktu sesukamu, Nan. Papa akan selalu ada disini kalau kamu butuh bantuan Papa," ujar Kinan. Jinan mengangguk sambil tersenyum membalas sang Ayah. Ah, betapa Kinan selalu bersyukur mempunyai anak seperti Jinan, ia benar-benar mirip dengannya.
"Omong-omong, bener kata adik-adikmu kalau kamu punya cem-ceman, Nan?"
Ah, kenapa Kinan harus bertanya hal itu? Jinan malu rasanya, juga sedih karena teringat Cindy.
"Cuma temen kok, Pa."
"Serius cuma temen?" Wajah Kinan berubah jadi menyebalkan saat menatap anak sulungnya itu. Jinan juga kesal karena sang Papa malah menggodanya seperti ini.
"Temen, Pa."
"Ah, kamu tau kamu gabisa boongin Papa, Nan."
"Pa, serius, cuma temen, Kok. Jinan aja baru kenalan kemarin. Terus juga... Dia cewek, Pa."
Kinan tidak terkejut mendengar itu, ia justru menghela napas dan tersenyum. Tubuhnya ia sandarkan pada kepala ranjang Jinan dan kakinya ia naikkan, selonjoran diatas kasur sang gadis.
"Apa masalahnya? Tante kamu juga nikah sama cewek, tuh. Papa bakal dukung anak-anak Papa kalau itu yang bikin kalian bahagia," ucap Kinan. Well, Jinan sedikit lega karena Kinan memberinya lampu hijau atas apa yang ia rasakan. Sekarang masalahnya hanya sang Mama dan...
"Dia istri orang, Pa."To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐏𝐥𝐚𝐲𝐢𝐧𝐠 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐅𝐢𝐫𝐞 | 𝐂𝐢𝐍𝐚𝐧
Fiksi Penggemar"Jinan bego, suka kok sama istri orang." -Aya JNN x CND gxg • mature content HeroesLegacy©2022