Hari ini Jinan menjemput Chika di kampusnya lagi. Sang kakak sudah bilang untuk menemani Chika ke tempat dimana ia bisa mengerjakan tugas observasinya, seperti janjinya waktu itu.
Ketika Chika masuk ke dalam mobil Jinan, sang kakak tersenyum dibalik kacamata hitam yang ia pakai.
"Buset, kek sopir Papa aja lo, Kak. Segala pake kacamata item gitu," ujar Chika.
"Sopir Papa yang mana? Om Hans? Om Hans keren, berarti gue juga keren."
Ujung bibir Chika terangkat naik karena mendengar itu, level percaya diri Jinan itu sepertinya sudah lebih tinggi dari tugu Monas.
"Cih, sok iye banget lu, situ oke?"
Yah, seperti yang kita tahu, Jinan dan Chika tidak akan pernah bisa akur.
"Udah disiapin kan materinya buat wawancara ntar?" tanya Jinan. Chika mengangguk pasti. Ia sudah membuat bab awal dan tinggal mewawancarai pemilik tempat usaha yang Jinan bilang milik temannya. Lalu datanya dimasukkan terakhir.
"Beres, Bos. Tinggal ketemu aja kita."
"Jangan bikin malu loh, awas aja."
Saat sampai di parkiran, Chika tersenyum menggoda saat menyadari kalau tempat usaha yang Jinan bilang adalah kafe Aurora.
"Ahayde, Kak Jiban ni diem-diem dah jadi bestienya yang punya kafe, ya?" tanya Chika, tentu dengan nada menggoda.
"Apaan, dah. Lo yang bener ntar wawancaranya. Gausah macem-macem, jangan bikin malu gue," balas Jinan sambil melepas seatbelt yang memeluk tubuhnya sejak tadi.
"Iye-iye, santai aja napasi."
Di dalam, Jinan menyapa Zee dan Adel sebelum akhirnya memesan kopi dan beberapa makanan bersama Chika. Zee yang baru tahu kalau Jinan punya adik lain selain si Anime itu-- julukan Zee untuk Marsha, hanya bisa ternganga karena sepertinya gen keluarga Jinan tidak ada yang gagal. Ia jadi penasaran bagaimana rupa ibu mereka.
"Oh, ya, Cindy ada disini?" Zee mengangguk menjawab pertanyaan Jinan, "ada di ruangannya, mau dipanggilin?"
"Boleh, bilang adek aku udah disini, mau ketemu, gitu."
Zee mengangguk dan hendak pergi dari meja kasir tapi Chika menahannya hingga ia berhenti berjalan, "bilang aja dicariin Kak Jiban."
Gadis itu bingung, siapa yang harus ia sampaikan ucapannya karena yang ia lihat sekarang adalah dua kakak beradik itu malah saling bertengkar.
Mereka menunggu di meja favorit Jinan, dimana dua sofa yang saling berhadapan menjadi tempat duduknya. Dan tidak sampai 5 menit, Zee kembali turun dengan Cindy yang ikut serta di belakang gadis itu.
"Hai, Nan!" sapa Cindy dengan senyum saat melihat Jinan duduk santai di meja tersebut. Senyumnya terus mengembang saat bertatapan dengan Chika, nampak seperti sedang adu senyum paling manis.
"Hai, lagi sibuk, kah? Ini adek aku mau observasi disini, yang aku bilang waktu itu, loh."
Cindy mengangguk karena ingat akan ucapan Jinan ketika ia mengantarnya pulang setelah dari kebun binatang waktu itu. Cindy kemudian menarik sebuah kursi dari meja lain dan ikut duduk bersama mereka, "ga sibuk, kok. Lagi santai aja aku."
Jinan yang rambutnya hari ini terurai itu mengangguk, "eh iya, Cindy, kenalin ini adik aku, namanya Chika tapi panggil aja Chika jablay."
"Kak Jiban apaan sih?!" Chika mendengus kesal karena Jinan tidak berhenti menggodanya, bahkan saat di depan orang baru seperti Cindy.
"Kenalin nih, Chika, Cindy. Yang punya kafe ini, lo panggil dia Kak Cindy, dan jangan lupa yang sopan sama dia. Jangan malu-maluin gue."
Gadis itu hanya bisa menghela napas pelan karena tingkah sang Kakak, "gue ga separah itu ya, Kak. Jangan ngadi-ngadi."
Sementara itu Cindy hanya terkekeh melihat tingkah dua kakak beradik ini. Ini kedua kalinya ia bertemu keluarga Jinan setelah Aya malam itu. Dan sepertinya love-hate relationship Jinan dengan adiknya lebih besar daripada bersama Aya. Tapi justru itu terlihat lucu di mata Cindy.
"Yaudah, gih wawancara. Orangnya sibuk jadi jangan buang-buang waktu dia," ucap Jinan. Chika yang melihat sikap Jinan itu ingin sekali menggodanya lagi, tapi ia masih terlalu sadar untuk tidak membuat Jinan malu di depan gebetannya.
"Ga sibuk ih, Nan. Santai aja ya, Chika? Gausah di dengerin Jinannya."
Mendengar Cindy membelanya, Chika langsung menjulurkan lidah untuk mengejek sang kakak.
"Dih, malah pada sekongkol."
Chika lantas mengeluarkan laptopnya dan mulai bertanya banyak hal pada Cindy. Dan dengan senang hati pula Cindy menjawabnya. Beberapa pertanyaan juga Jinan bantu menjawab karena masih seputar bisnis yang ia juga paham.
Di sela-sela sesi wawancara itu, mata Jinan tiba-tiba melihat seseorang yang baru datang dan menghampiri Zee di meja kasir. Sosok yang sangat ia kenal tengah berdiri disana dan seperti memesan sesuatu.
"Lah, Kak? Itu Tante Gre, kan?" tanya Chika yang juga melihat wanita dengan balutan jaket kulit hitam itu. Jinan langsung mengangguk dan tanpa kata ia berdiri meninggalkan Chika dan Cindy disana untuk menghampiri tante mereka.
"Tante Gre?"
Wanita itu menoleh saat mendengar namanya dipanggil, senyumnya langsung mengembang karena di belakangnya sekarang ada Jinan yang juga balas senyum padanya.
"Jinan? Kamu ngapain disini?" tanya Gracia-- tante Jinan, seraya memeluk gadis itu.
"Jinan sering kesini, Tante. Kebetulan juga lagi nemenin Chika ngerjain tugas, tuh." Jinan menunjuk ke arah Chika, gadis itu tersenyum sambil melambai ke Gracia dengan mata yang berbinar dan Gracia juga balas melambai padanya.
"Wah, lama ga ketemu kalian. Gimana kabar Mama sama Papa? Rumah aman, kan? Ga kalian jungkir balikin?" tanya Gracia. Jinan terkekeh mendengar itu. Sudah satu bulan ia tidak melihat Gracia, ia dan Shani-- istrinya, sibuk bolak-balik Indo-Australia untuk bisnis. Dan baru beberapa hari lalu pulang.
"Mama Papa sehat, Tante. Maaf ya, Jinan belum sempet main soalnya sibuk. Jinan juga baru tau Tante udah di Indo kalau ga Mama pergi ke butik Tante Shani kemarin."
"Iya deh, si paling sibuk sekarang kerja di Mahagita Corp." Gracia tersenyum menggoda saat menatap Jinan. Karena Gracia ada disini, Jinan jadi teringat ada sesuatu yang ingin ia bicarakan pada sang tante.
"Eh, Tante Gre sibuk ga? Jinan mau ngomongin sesuatu, deh."
"Hm? Sekarang? Ga sibuk, sih. Cuma ini mau beliin kopi buat Ci Shani. Mau ngobrol sekarang?"
Jinan mengangguk, "kalau Tante ga keberatan."
"Ga berat, ntar biar aku kabarin Ci Shani. Duduk situ, yuk. Eh, Mbak, itu yang caramel macchiato gajadi take away, ya? Minum sini aja."
Zee yang mendapat perintah seperti itu langsung mengangguk, "siap, Kak."
Dan lagi, Zee dibuat terpana karena mengetahui orang yang baru memesan ini adalah tante dari Jinan. Ia jadi curiga kalau sebenarnya rumah Jinan itu ada di khayangan.* * *
Gracia dengan santai membicarakan hal-hal yang ia lewatkan satu bulan ini selama ia di Australia dari mulut Jinan. Gadis itu tetap tidak berubah, sejak kecil ia sudah cocok sekali dengan Gracia, dan sampai sekarang, kalau ada apa-apa pasti adik Mamanya itu yang jadi tempat curhat.
Wanita 35 tahun itu tahu kalau Jinan sebenarnya ingin membicarakan sesuatu, tapi ia masih mengobrol soal pekerjaannya di Mahagita Corp. Biasa, basa-basi dulu dan Gracia maklum untuk itu. Mungkin ia masih gugup untuk menanyakannya.
"Menurut Tante kalau Papa beneran reveal Jinan as her daughter nanti, Jinan harus gimana?" tanya Jinan. Gracia sedikit berpikir dengan mengaduk-aduk sedotan di gelas kopinya.
"Kalau Mas Kinan bilang mau reveal kamu, pasti dia udah yakin sama Kamu, Nan. Tau sendiri kan, Mas Kinan itu pikirannya panjang? Jadi pasti dia udah mikirin buat jangka panjangnya."
Benar juga apa kata Gracia. Kinan bukanlah orang yang ceroboh, jika ada hal yang membuat Jinan ragu itu pasti pikirannya sendiri.
"Eum... Tante? Jinan mau tanya sesuatu."
Kedua alis Gracia tertaut, ia menatap Jinan dengan sedikit bingung, bukannya sejak tadi ia sudah bertanya banyak sesuatu?
"Tanya aja, Nan. Mau tanya apa?"
Wajah Jinan sedikit ragu saat itu, Gracia bisa menyadarinya hanya dari air muka Jinan yang berubah.
"Emm... Itu, Tante. Dulu... Waktu Tante bilang ke Mama soal... Hubungan Tante sama Tante Shani, Mama gimana, Tan?"
Gracia menghela napas berat. Sebenarnya ia sudah curiga dengan orientasi seksual sang keponakan sejak dulu. Ia takut Jinan akan mengikuti jalannya menjadi seperti ini. Dan yang ia tahu jalan Jinan akan sulit nantinya jika benar gadis itu seperti dirinya yang suka perempuan.
"Butuh 5 tahun buat Kak Veranda menerima Ci Shani, Nan. 5 tahun tidak berbicara denganku, 5 tahun tidak bertemu, dan 5 tahun menjauhi Tante," jawab Gracia dengan nada yang sendu. Jika ingat bagaimana kecewanya Veranda saat itu membuat hatinya kembali sakit.
"Yang membuat Kak Veranda mau menerima kami adalah karena kamu, Nan. Kamu inget, kan, dulu aku sama Ci Shani diam-diam menemuimu di sekolah? Menjagamu saat belum dijemput, dan membawakanmu bekal?"
Jinan mengangguk, ia ingat saat ia masih TK, ada dua gadis yang selalu datang setiap pulang sekolah untuk menemaninya bermain sampai Om Hans menjemput. Saat itu Veranda sibuk menjaga Chika yang masih bayi.
Barulah suatu hari Veranda tiba-tiba ikut menjemput Jinan dan melihat anaknya bermain dengan Gracia dan Shani. Adu mulut yang hebat terjadi dan entah bagaimana Gracia bisa membuat Veranda luluh dan mau menerimanya dan Shani. Dan hal itu yang ingin Jinan ketahui.
"Memangnya kamu suka sama siapa? Mas Kinan pasti dukung kamu just the way you are, tapi aku ga yakin sama Kak Veranda, Nan. At least, kamu bisa bikin papa kamu percaya dan punya back-up an dia."
Jinan terdiam sejenak, ia menatap Gracia lekat beberapa saat sebelum akhirnya menoleh ke belakang dan memperhatikan Chika yang masih sibuk mewawancarai Cindy.
"Ga, Tante. Jinan... Cuma tanya aja."
To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐏𝐥𝐚𝐲𝐢𝐧𝐠 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐅𝐢𝐫𝐞 | 𝐂𝐢𝐍𝐚𝐧
Fanfiction"Jinan bego, suka kok sama istri orang." -Aya JNN x CND gxg • mature content HeroesLegacy©2022