Tok tok tok.
"Siapa?"
Naren membuka pintu kamar inap Rania. Tanpa ragu kaki jenjang itu berjalan menghampiri Rania yang masih berbaring di atas brankar.
"Ngapain?" tanya Rania.
"Kenapa gak bilang? Kenapa si ketos tahu sedangkan gue nggak?" Naren balik bertanya.
"Kenapa harus?"
Naren menghela nafasnya. "Gue pacar lo, Ran. Gue khawatir sama lo."
"Gak usah ngelucu, Ren--"
"Sutttt... Lo lagi sakit, jangan banyak bacot. Nih gue bawain buah, gue gak tau lo sukanya apa. Dimakan ya? Gue gak bisa lama-lama, ada masalah yang mesti gue lurusin dulu."
Rania memandangi Naren yang tengah memotong buah untuknya, entah kenapa Rania merasakan ketulusan dari Naren saat ini.
"Udah, kalau gak suka jangan dimakan. Gue balik dulu ya, cepet sembuh, jangan sakit lagi."
Setelah mengatakan itu Naren beranjak, namun kembali terhenti saat di ambang pintu.
"Di paper bag ada boneka buat lo, diambilnya pas ada bibi aja."
Rania menghembuskan nafasnya lega setelah Naren benar-benar tak terlihat. Kehadiran cowok itu sangat mengganggunya.
🥀
Naren hanya bisa menunduk kala sang ibu menatapnya intens.
Setelah dari rumah sakit Naren segera kembali ke sekolah, karena ia tahu bahwa sang ibu telah mendapatkan kabar yang kurang baik dari sekolah.
"Jangan nunduk, lihat Bunda!" ucapnya dengan tegas. "Siapa yang ngajarin kamu bolos?"
Naren yang masih menunduk menggeleng kuat. "Gak ada, Bun."
"Terus kenapa bolos? Ayo kasih tahu Bunda." Naira sebenarnya tahu alasan mengapa putra tunggalnya itu nekat keluar dari area sekolah saat jam pelajaran hendak dimulai.
Awalnya Naira terkejut, tapi setelahnya ia merasa bersyukur karena ternyata ada seseorang yang Naren khawatirkan selain keluarganya. Naira sangat menantikan hal itu.
"Maaf, Bun. Nggak lagi Naren bolos kaya tadi," ujar Naren.
Kalau Rania gak bikin Naren khawatir lagi.
"Bunda gak minta kata maaf dari kamu. Sebagai hukuman, uang saku kamu Bunda potong," final Naira.
Naren hanya mengangguk saja. Baginya itu bukan masalah yang besar, masih ada sisa uang saku yang masih bisa ia gunakan.
Sebenarnya Naira tidak setega itu pada anaknya, tapi apalah daya itu semua untuk memberikan Naren sedikit pelajaran.
"Sekarang pulang, jangan keluyuran lagi."
🥀
Ini adalah hari kedua Rania dirawat, kondisinya sudah jauh lebih baik dari kemarin. Dari semalam Rania ditinggalkan sendiri, Bi Mina terpaksa harus pulang sedangkan sang ayah sama sekali belum menemuinya.
Di luar tengah hujan lebat, Rania suka mendengar suara hujan tapi Rania benci jika harus mendengarnya seorang diri. Berakhir dengan menggunakan earphone, Rania menutup matanya dengan memeluk boneka pinguin pemberian Naren.
Ditengah terlelapnya Rania, seorang wanita paruh baya masuk tanpa seizin sang pengisi ruangan. Berbadan tinggi, berkulit putih serta memiliki rambut yang cukup panjang.
Wanita itu memandang Rania dengan senyuman hangat, perlahan tangannya mengelus rambut Rania.
"Cantik, seharusnya kamu nggak pernah ngalamin hal mengerikan itu. Papah kamu terlambat dan lalai jaga kamu...setelah ini tante jamin dan tante akan berusaha buat kamu bahagia."
Sepenggal gumaman kecil yang masih terdengar oleh Rania, dia tidak benar-benar tertidur setelah terdengar suara decitan pintu. Rania ingin membuka matanya melihat siapa yang datang menemuinya, namun dia urungkan hingga wanita itu pergi setelah mengatakan,
"Cepet sembuh ya, jangan sakit lagi. Tante gak tega liat kamu lemah kaya gini."
Rania baru membuka matanya ketika orang itu benar-benar pergi dari ruangannya. Perasaan bingung dan penasaran membuat Rania tidak tengang, ia ingin segera keluar dari rumah sakit dan mencari tahu siapa wanita itu.
Ceklek.
Pintu kembali terbuka, menapkan Naren yang masih menggunakan seragam sekolah.
"Udah bangun?" tanya Naren seraya duduk dan meletakan paper bag yang ia bawa.
"Tahu dari siapa kalau gue tidur?"
"Tadi ketemu dokter di depan," jawab Naren.
"Jadi yang tadi itu dokter, tapi kenapa bisa kenal Papah?"
"Ran. Rania!"
"Eh-kenapa?" Rania sedikit tersentak ketika Naren memanggilnya dengan nada tinggi.
"Jangan ngelamun."
Rania menggeleng. "Nggak ada yang ngelamun," elak Rania.
"Ngelak mulu kerjaan lo. By the way kapan pulang? Udah baikan, kan? Gue kangen sama lo," ujar Naren yang membuat Rania membelakan matanya tak percaya.
"Dih, siapa lo? Kangen-kangen, sorry ya kita gak kenal," tukas Rania.
Naren menatap Rania intens, Rania yang ditatap seperti itu hanya bisa diam. Tatapan Naren yang seperti ini cukup menakutkan bagi Rania.
"Kata siapa? Lo itu milik gue, dan udah gak bisa diganggu-gugat. Pokoknya lo milik gue, pacar gue--"
"Iya deh terserah lo, udah sana pulang! Gue mau tidur, ngantuk." Rania segera merebahkan badannya dan langsung memejamkan mata.
Naren terkekeh hanya karena hal itu. Rania sungguh menggemaskan di mata Naren dan lagi setelahnya Naren tersenyum hangat saat melihat boneka pinguin pemberiannya berada di pelukan Rania.
Diusapnya rambut Rania, kemudian Naren membisikan sesuatu pada telinga Rania, "Gue tahu, lo pulangnya nanti sore. Sorry ya, gue gak bisa jemput lo, tapi besok sebelum sekolah gue jemput. Sekarang pacar lo yang ganteng ini mau pulang dulu, jaga diri baik-baik ya, jangan lupa jaga hati juga, gue gak mau cinta lo kebagi dua."
Rania tidak bisa menahan senyumnya, kata-kata Naren membuat Rania kembali merasa di pedulikan.
Aaaaa.... Seneng banget cerita ini ada yang baca! Makasih ya yang udah baca sama vote, aku jadi makin semangat nulisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Badai Reda
Teen FictionRania dipaksa menjadi pacar seorang Narendra Aryana, yang tidak begitu ia kenal. Rania tidak diberi pilihan selain menerimanya meski luka dari orang sebelumnya belum kering. Bisakah Rania menyembuhkan lukanya dengan cepat? Dapatkah Naren bertahan...