25. Menyesal

12 2 0
                                    

Naren terus memandang Rania yang tengah tidur dengan tatapan bersalah. Ucapan Dion membuatnya sadar dengan apa penyebab terjadinya semua ini.

Yang memulai masalah ini adalah dirinya sendiri, jika saja ia tidak ingkar janji dan bertemu Kanaya semuanya akan baik-baik saja. Ia juga tidak akan mendengar pengakuan dua orang yang ternyata selama ini menyukai Rania.

Tidak banyak yang Naren lakukan, ia hanya duduk dan terus memandangi wajah damai Rania. Sudah dua jam Naren berada di posisi itu, tapi ia masih belum puas. Meski begitu pikiran Naren terus berkelana. Mengapa Rania menyembunyikan hal ini? Sejak kapan Rania mengidap penyakit mematikan ini?

Viona menatap punggung Naren sendu. Ia tahu siapa Naren, dan Viona juga tahu apa yang sedang terjadi diantara Naren juga Rania.

"Ini sudah malam, lebih baik pulang saja." Bukan karena geram, melainkan karena khawatir karena luka-luka yang Naren dapatkan masih belum diobati.

Naren menoleh lalu mengangguk. Ia meraih ranselnya lalu menyalimi Viona dan pergi dari sana tanpa berkata apapun lagi.

Viona memandang kepergian Naren dengan gelengan kepala. "Dasar anak muda."

Saat Viona kembali melihat Rania alahkah bingungnya ia, Rania sudah membuka matanya tapi dengan pandangan kosong.

"Sayang, kamu udah bangun? Tante ganggu ya?" Viona duduk di samping Rania.

Rania menggeleng, tak lama air mata menetes membasahi pipinya. Hal itu tentu membuat Viona panik.

"Kenapa? Gak nyaman ya ada tante? Kalau gitu tante keluar ya, kalau butuh sesuatu panggil aja." Viona hendak beranjak namun dengan cepat Rania menahan lengannya.

"Bukan, Tan. Tapi ... Boleh Rania peluk Tante?"

Viona menaikan sebelah alisnya. Ia tak mengerti tapi tetap menuruti apa mau Rania. Viona duduk kembali lalu memeluknya.

Di pelukan Viona, Rania semakin terisak. Rania merasa bersalah pada Viona, ia terlalu cepat menyimpulkan hingga berakhir seperti ini.

"Cerita sama Tante, kamu kenapa?" Viona melepaskan pelukannya lalu menangkup wajah Rania.

Rasa bersalahnya kian membesar kala menatap mata Viona. "Tan ... Maafin Ran-"

Belum selesai Rania berbicara, Viona terlebih dahulu memotongnya dengan sebuah pelukan. Rania sempat terkejut, namun setelahnya ia membalas pelukan nyaman itu.

"Kamu gak salah apa-apa sama Tante, kenapa minta maaf?"

"Soal waktu itu."

"Yang berlalu biarlah berlalu, sayang."

🥀

Naira menatap curiga anaknya. Pulang cukup larut dan wajah penuh lebam membuat Naira tidak bisa berpikir positif. Ia sudah berulang kali menanyakan apa yang sudah terjadi, tapi Naren sama sekalit tidak mau menjawabnya.

Karena merasa geram, Naira menekan luka di wajah anaknya hingga sang empu meringis.

"Bun, sakit! Kenapa diteken?" eluh Naren.

"Salah sendiri, kenapa gak ngabarin? pulang malem udah gitu babak belur lagi. Kalau Ayah tau gimana? Bunda yang kena."

Naren tersenyum tanpa dosa. "Itu sih masalah Bunda." Setelah mengatakan hal itu Naren segera pergi dari sana, sebelum teriakan Naira menggema.

Setelah berhasil kabur dan mengunci pintu, Naren terduduk di balik pintu. Ucapan Dion masih terngiang di kepalanya. Meskipun sudah merenungi kesalahannya, Naren basih belum bisa menemukan solusi untuk semua kesalah pahaman ini.

"Argh!" Naren berteriak prustasi, setelahnya ia bangkit untuk membersihkan diri.

Semua berjalan normal seperti biasa, namun saat Naren melangkahkan kakinya ke kamar mandi ia terpeleset hingga terjatuh.

"Akh! Sial sakit banget kepala gue! Bunda! Tol-long ..."

🥀

Suasana sekolah sangat jauh dari biasanya. Atha menghela nafasnya gusar, semuanya benar-benar kacau. Hampir di setiap penjuru membicarakan tentang dua temannya, Rania juga sepupunya, Kanaya.

Bukan hanya siswi, siswa juga ikut bergosip mengenai hal ini. Atha benar-benar lelah mendengarnya.

"Gak cewek, gak cowok sama aja. Tukang gosip," gerutu Atha.

Atha hanya ingin pergi ke kelasnya dengan tenang, namun baru saja ingin masuk ia sudah dihadang oleh ketua osis yang selalu ia benci walau hanya mendengar namanya.

"Ngapain lo? Kelas lo bukan di sini!"

Dion hanya menanggapi pertanyaan Atha dengan senyuman tipis. "Gue mau ngomong, tapi gak di sini." Dion pergi setelah mengatakan hal itu.

Atha mengeram kesal. "Tinggal ngomong doang ribet amat!" Namun ia tetap mengikuti langkah Dion.

Atha tersenyum miring saat langkah Dion berhenti, dan mereka sekarang berada di rooftop.

"Ngapain lo bawa gue ke sini? Lo mau ngajak gue bolos? Sorry ya, biarpun gue gak punya jabatan gue gak suka bolos. Lo ketua osis mau bolos, gue aduin juga ke guru bk-"

"Bisa diem gak?"

Atha yang tadinya berceloteh kini diam dan menatap Dion malas.

"Gue ke sini mau bicarain masalah temen lo," ujar Dion.

"Apa lo bilang? Masalah temen gue?" Atha memutar bola matanya malas. "Gue emang punya temen ya? Perasaan nggak tuh."

"Tha, gue lagi gak mau berantem sama lo. Ini menyangkut Rania-"

"Bodo amat, gue gak peduli. Mau menyangkut Rania, Naren, Rio, atau sepupu gue sekalipun gue gak peduli. Ini masalah mereka, gue gak ada hak buat ikut campur. Dan lo- lo siapa mau bicarain masalah mereka sama gue? Gye udah muak denger semua ini." Atha membalikan badannya lalu kembali melangkah, namun baru beberapa langkah Atha berhenti karena ucapan Dion dan kembali menatapnya.

"Ini berkaitan sama nyawa seseorang, Atha Raharja!"

"Apa yang lo maksud? Nyawa siapa?"











Jadi Atha kayanya pusing banget ngurusin masalah cinta dua temennya. Stan TNX guys!

Setelah Badai RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang