06. Bayangan masa lalu

41 6 0
                                    

Rania menatap pantulan dirinya di cermin. Hal ini selalu dilakukan Rania ketika dirinya merasa gelisah.

Delapan menit yang lalu ada pesan masuk dari salah satu aplikasi pada ponselnya. Rania gelisah dan marah ketika melihat siapa yang mengiriminya pesan.

Sagara, orang yang membuat Rania tidak percaya pada sebuah janji. Sagara--ah tidak, Rania benci hanya dengan mendengar namanya.

"Sialan, gue benci sama lo!" Rania membanting ponselnya pada kasur.

Nafasnya memburu, seolah sosok yang dibenci berada di hadapannya. Tak berselang lama perhatian Rania teralihkan oleh dering telepon miliknya.

Manusia songong is calling.....

Rania benar-benar tidak peduli dengan ponselnya yang sudah berdering lima kali. Sedangkan Naren dibuat khawatir sendiri, pasalnya diperjalanan pulang keduanya sama-sama diam.

Naren tidak bisa hanya berdiam diri sambil terus-terusan menelepon pacarnya itu. Hatinya benar-benar tidak tenang. Dengan cepat Naren meraih kunci motor dan jaketnya, langsung pergi tanpa pamit pada sang ibu.

Dimalam minggu yang cukup ramai, Naren melajukan motornya ke kediaaman Ananta. Jaraknya sudah semakin dekat, namun dari kejauhan Naren melihat Rania yang keluar rumah. Dengan sedikit menambah kecepatan, Naren mencoba mengimbangi jalan Rania.

Kik.

Suara klakson yang sengaja Naren bunyikan membuat Rania menoleh.

"Mbak pacar mau kemana?" tanya Naren sedikit berteriak.

Rania tidak menggubrisnya, hingga Naren memberhentikan motornya dan menghampiri Rania.

"Mau kemana?" tanya Naren lagi.

"Bukan urusan lo!" jawab Rania ketus.

Naren mencekal tangan Rania ketika hendak kembali berjalan.

"Lepas!"

"Jawab dulu! Gue gak suka pacar gue pergi malem-malem tanpa sepengetahuan gue!" Tanpa sadar Naren meninggikan intonasi suaranya. Padahal dirinya tahu bahwa emosi Rania sedang tidak stabil.

Rania menatap Naren dengan mata berkaca-kaca, hal itu membuat Naren merasa bersalah.

"Pacar? Gue bahkan gak pernah nyetujuin hal itu! Lo sendiri yang ngeclaim gue jadi pacar lo. Jadi gak usah sok ngatur-ngatur gue, lo gak berhak!!"

Setelah mengatakan itu Rania segera melepaskan tangan Naren dan langsung berlari menjauh. Naren paham, dirinya sejak awal memang salah dan sekarang tidak ada pilihan lain selain membiarkan Rania pergi menenangkan pikirannya.

🥀

Bodoh. Satu kata itu Rania tunjukan untuk dirinya sendiri. Taman kota. Rania berharap bisa menenagkan pikirannya di sana, namun nyatanya Rania malah teringat kembali masa-masa itu. Sandarannya berhianat.

"Lo pikir gue beneran sayang sama lo? Jangan ngimpi!"

"Arghhh...." Rania berteriak. Kata-kata yang diucapkan Sagara kala itu benar-benar membuatnya muak. Sagara, dia hanya memanfaatkan kekayaan Rania mengatasnamakan cinta.

"Lo itu manusia terbodoh yang pernah gue kenal. Karena lo udah tahu, sekarang kita putus, gue berharap lo gak pernah sembuh dari trauma lo itu."

Rania menangis, lututnya terjatuh seakan tidak bisa menahan bobot tubuhnya. Rasanya masih sama, sangat sakit.

Saat itu Rania merasa traumanya akan hilang seiring berjalannya waktu, namun nyatanya ia salah besar. Orang yang Rania kira akan terus menemaninya akan membantu menghilangkan rasa trauma itu, kenyataannya dia malah memberikan trauma yang baru.

Rintik hujan mulai turun dan mulai lebat, namun Rania tidak gundah, dirinya sama sekali tidak mempunyai niatan untuk beranjak.

Suara hujan membuat tangisan Rania samar, itulah yang Rania suka dari suara hujan. Tapi untuk tetesan air yang jatuh, Rania tidak begitu menyukainya.

Suara gemuruh mulai terdengar, saat itu Rania benar-benar panik, dirinya tidak bisa berbuat apa apa selain menutup telinganya.

"Tolong jangan...." lirih Rania.

Bruk!

"Sudah saya peringati, jangan sekali-kali dekati anak saya. Anggap saja ini hukuman buat kamu!"

"AAA...." Rania kembali berteriak ketika terasa ada yang merengkuhnya.

"Ran, ini gue jangan takut," ujar Naren.

Benar dia Naren. Cowok itu kembali merasa tidak tenang ketika hujan mulai turun, berakhir dengan mencari keberadaan Rania dengan mengitari jalanan kota.

Naren merasakan bagwa Rania memeluknya dengan erat. Isakan Rania terdengar lirih, ini adalah kali kedua Naren melihat gadis yang disukainya lemah tak berdaya.

"Ran, ayo pergi dari sini. Gemuruhnya makin keras.."

"Ran? Rania?"

"Gue gak...kuat." Setelah kata itu keluar Naren merasakan pelukan Rania mengendur.

Benar dugaan Naren, Rania kehilangan kesadarannya sekarang.

"Ran, sadar Ran!" Naren menepuk pipi Rania berharap mata itu kembali terbuka.

Tidak ada pilihan lain, Naren menggendong Rania dan segera mencari taksi. Sayangnya malam itu Naren sama sekali tidak mendapati taksi yang lewat.

Naren menatap Rania dengan mata yang masih terpejam. Sakit, Naren juga merasakan hal itu.

"Yang kuat ya, Ran. Gue bakal bawa lo pulang."

Di tengah hujan yang lebat itu Naren beelari sambil menggendong Rania. Naren tidak mungkin membiarkan Rania kedinginan terlalu lama.

Hampir setengah perjalanan Naren baru menemukan taksi yang lewat. Kesempatan emas, Naren menghentikannya.

"Ke jalan xxxx ya pak."

"Iya Mas."

Naren terus memandangi wajah Rania, sesekali merapikan rambutnya yang berantakan.

"Bisa lebih cepat pak? Ini darurat." Naren sudah sangat khawatir dengan keadaan Rania saat ini.

"Susah Mas, jalannya licin tapi saya akan berusaha," jawab supir taksi itu.

Naren menggosok tangan Rania, mencoba menyalurkan kehangatan.

Sementara di sisi lain Naira juga khawatir pada anak tunggalnya. Pergi tanpa pamit dan tanpa membawa ponsel.

Naira sudah menghubungi kedua temannya, Atha dan Rio. Numun keduanya sama sekali tidak tahu keberadaan putra tunggalnya itu.

"Awas aja kamu sampe rumah, Bunda aduin sama Ayah." Naira jelas menggerutu kesal. Jika saja sang suami berada di rumah mungkin dia tidak akan sekhawatir itu.











Seru gak sih ceritanya?
Telat update lagi gegara tugas :(

Setelah Badai RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang