17. Pertemuan yang tidak diinginkan

19 6 0
                                    

"Ih pakeinnya yang bener!"

Sesuai janji, Naren membelikan Rania cat kuku, dan sekarang Naren sedang mencoba memakaikannya di kuku sang pacar.

Rania memandang kukunya yang kini sudah di cat dengan rapi oleh Naren. "Kamu juga pake ya? Nanti aku pakein."

"Nggak!" Sontak Naren menolaknya mentah-mentah. Bukan karena apa, jika saja warnanya hitam Naren masih bisa terima. Lah ini, warna pink dan merah. Yang benar saja.

"Kenapa? Kan bagus, tuh tuh," kata Rania seraya memamerkan kukunya.

"Iya, bagus di kamu. Tapi nggak di aku, ini warnanya pink sama merah loh. Ntar dikira bencong kan berabe, kamu mau punya pacar yang dikatain bencong?"

Rania menggeleng kuat. "Ya nggak lah."

"Nah, makannya." Naren menjeda ucapannya. "Udah kering belum? Kalau udah ayo makan. Aku gak bisa lebih lama lagi, udah punya janji sama bunda."

"Kenapa gak bilang dari tadi? Yaudah sana pergi, jangan bikin bunda nunggu lama cuma karena nungguin aku makan."

"Nanti aja, aku mau pastiin kamu makan dulu."

"Kamu gak percaya sama aku? Tenang, ada bi Mina kok. Nanti kamu bisa tanya sama dia, atau gak nanti aku vidio pas aku makan deh."

Naren tersenyum tipis, tangannya beralih mengelus rambut hitam Rania. "Aku percaya. Oke deh, aku pergi dulu ya."

Naren beranjak diikuti Rania yang mengantarnya hingga depan rumah. Setelahnya Rania kembali ke dalam rumah dengan tatapan dan raut wajah yang berbanding terbalik saat bersama Naren.

Lagi, Rania kembali menatap kukunya yang sudah dihias oleh sang pacar. Satu keinginan Rania dipakaikan cat kuku oleh irang yang ia sayang terpenuhi.

"Non, ayo makan dulu."

Bi Mina menuntun Rania agar duduk di meja makan.

"Badannya masih lemes, Non?" tanya Bi Mina.

Rania menggeleng. "Udah lebih baik, Bi."

Bi Mina menatap Rania iba. Anak majikannya itu benar-benar kuat dan sabar menjalani kehidupan yang jauh dari kata baik akibat kejadian di masa lalu.

Sedangkan Rania hanya memandang makanan di depannya tanpa ada niatan menyentuhnya.

"Kenapa dilihatin terus, Non? Ayo dimakan," ucap Bi Mina.

"Gak nafsu makan, Bi," jawab Rania.

"Tapi Non harus makan loh. Biar cepet pulih."

Rania akhirnya mengalah dan mulai memakan makanannya.

"Padahal percuma, Bi. Dengan aku makan gak akan bisa perbaiki semuanya."

Bi Mina tersenyum getir mendengar ucapan nona kecilnya. "Bibi yakin, Non bisa bertahan. Banyak kok orang di luar sana yang sama seperti Non dan mereka bisa bertahan, bahkan hidup seperti manusia normal."

"Nia bakal berusaha jadi bagian dari mereka yang bertahan."

🥀

Jam menunjukan pukul 18 : 30. Rania sedari tadi terus memandang pantulan dirinya dari cermin.

Gaun selutut berwarna maroon kini melekat di tubuhnya. Hari ini Rania diharuskan bertemu seseorang yang sangat tidak ingin Rania temui. Tidak, Rania bahkan sama sekali tidak mengenalnya tapi Raina sangat enggan bertemu jika saja tidak di paksa oleh Gio, sang ayah.

Toktoktok.

"Non, ini Bibi. Non Nia udah ditunggu tuan di bawah," ujar Bi Mina dari balik pintu kamar Rania.

"Iya, Bi."

Rania meraih tas serta handphone-nya dan langsung menemui sang ayah.

"Udah siap?" tanya Gio.

Rania tersenyum miring mendengarnya. "Nggak akan pernah siap."

Gio menghela nafasnya. "Papah yakin dan Papah janji, yang kali ini nggak akan kaya yang sebelumnya."

Rania hanya menatap Gio sekilas sebelum akhirnya pergi ke mobil mendahului Gio. Melihat itu Gio hanya bisa pasrah.

Membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk sampai disebuah restoran berbintang yang menjadi tujuan Gio dan Rania.

Rania berjalan di belakang Gio. Sungguh, Rania sama sekali belum siap. Bagaimana jika orang itu memiliki sifat yang sama seperti yang sebelumnya? Rania takut, trauma-nya masih ada dan dia tidak ingin menambahnya.

Beberapa langkah setelah memasuki restoran Rania sadar jika sang papah berjalan menuju wanita berbaju putih. Perasaannya semakin tak karuan kala keduanya sampai dan di sambut senyuman hangat wanita itu.

"Mas, Rania, ayo duduk," ucap wanita itu.

Rania hanya tersenyum tipis sebagai tanggapan. Wanita di hadapannya memang cantik dan terlihat baik, tapi di balik semua itu belum tentu ada hati yang baik.

"Sayang ini tante Vio, calon Mama kamu," ujar Gio.

Wanita bernama Viona itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya. "Nama tante Viona, kamu bisa panggil Mama Vio."

Bukannya membalas uluran tangan Vio, Rania justru berdiri dengan raut wajah yang tidak bersahabat.

"Saya gak sudi panggil kamu, Mama!" ucap Rania sebelum akhirnya pergi meninggalkan dua orang yang saling mencintai itu.

Entahlah, Rania tidak mengerti kenapa ia bisa bersikap seperti itu di hadapan Vio. Baru beberapa detik mereka bertemu tapi rasanya Rania sudah sangat marah, kecewa, sedih dan takut yang bercampur aduk.

Kini Rania tidak tahu harus pergi ke mana. Dirinya hanya berjalan kecil menyusuri trotoar tanpa mempedulikan arahnya. Saking tidak pedulinya Rania baru menyadari jika dirinya kini berada di taman tempat kenangan buruk di mulai.

Tanpa ragu Rania mulai menjelajahi kembali taman yang membuatnya merasakan sakit.

Langkahnya terhenti kala melihat dua orang yang saling memeluk satu sama lain. Lagi, hati Rania kembali hancur. Memang dari awal seharusnya ia tidak berharap apapun dari orang lain.

Dengan tangan bergetar Rania memotret kedua orang itu sebelum akhirnya pergi dari sana.

"Kayanya gue emang gak pantes buat bahagia."











Gila, udah berapa minggu gak update? Spesial 1 tahun anniversary TNX aku update.
Waktu emang gak kerasa banget ya? Rasanya baru kemarin kenal Ploud ot7

Happy 1st anniversary TNX & THX🏁

Setelah Badai RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang