24. Kemarahan Dion

15 2 1
                                    

Naren merutuki dirinya sendiri setelah sampai di depan gerbang rumah Rania.

"Ngapain sih, gue ke sini?"

Naren hendak kembali memakai helm-nya namun ada suara yang menghentikan pergerakannya.

"Den, Naren!"

Mau tak mau Naren kembali mrletakan helmnya lalu turun dari motor. Ia akan menghampiri Pak Adhi yang memanggil namanya.

"Pak, Rania kemana ya? Dia gak masuk sekolah tadi pagi terus katanya gak ada keterangan," tanya Naren.

Pak Adhi yang membuka gerbang itu langsung menoleh kala mendengar nama Rania. "Loh, Aden gak tahu? Non Rania kan lagi dirawat di rumah sakit."

Naren terkejut mendengarnya, bagimana ia bisa tidak mengetahui hal ini. "Rumah sakit mana, Pak?"

"Rumah sakit biasa, Den."

Naren segera kembali menaiki motornya tak lupa memakai helm dan langsung pergi dari sana tanpa sepatah kata apapun lagi.

Pak Adhi yang melihatnya hanya menggelengkan kepala. Tapi di sisi lain Pak Adhi merasa heran, mengapa Naren tidak mengetahui hal ini?

🥀

"Ran, kenapa lo rahasiain semua ini dari gue?"

Dion, laki-laki itu tengah berada di ruang inap Rania. Matanya yang sembap terus menatap Rania sayu. Saat tahu penyakit apa yang diidap oleh Rania, Dion tidak bisa berhenti menangis.

"Karena gue gak mau bikin lo khawatir sama gue, gue udah banyak rep-"

Belum selesai Rania berbicara, Dion menempelkan jari telunjuknya di bibir Rania agar berhenti berbicara.

"Lo gak pernah repotin gue, jangan mikir kaya gitu, gue gak suka. Kita sahabatan udah bukan setahun dua tahun, Ran. Dan lo masih sungkan sama gue? Yang bener aja, justru kalau gue jadi orang terakhir yang tahu, gue bakal ngerasa gak berguna."

"Jangankan lo Dion, bokap gue aja baru tahu kemarin," batin Rania.

Dion meraih tangan Rania lalu menggenggamnya. "Janji ya? lo bakal sembuh, Ran."

Rania tersenyum tipis, ia juga ingin tapi jika takdir berkehendak lain dia bisa apa? "Gue gak bisa janji. Penyakit gue ini bukan penyakit biasa."

"Lo bisa sembuh kalau lo mau kemoterapi. Di dunia ini gak ada yang gak mungkin-"

"Gue tahu, tapi inget. Kita cuma bisa ngerubah nasib, kita sama sekali gak bisa ngerubah takdir. Kalau nasib gue gak sembuh gue gak bisa ngapa-ngapain," sela Rania cepat.

Dion memalingkan wajahnya. Jujur, ia kecewa pada Rania. Wanita di hadapannya ini seakan berkata bahwa dia tidak ingin sembuh.

"Senggaknya kita udah berusaha."

"Berusaha tapi ujungnya sia-sia buat apa?"

Dion mengacak-acak rambutnya prustasi. Rania memang keras kepala.

"Gue marah sama lo, Ran. Jadi gue mau pulang aja. Gue bakal ke sini lagi besok."

Dion menggendong kembali tasnya, sebelum ia pergi tak lupa mengecup pucuk kepala Rania sebentar. Itu sudah biasa Dion lakukan saat menjenguk Rania, karena Rania kecil sangat suka ada memcium pucuk kepalanya saat sakit.

Tanpa ragu Dion melangkah keluar dari sana, namun saat ia menutup pintu Dion dikejutkan dengan Naren yang sudah menatapnya nyalang.

Hanya berselang tiga detik, Naren menarik kerah seragam milik Dion. Ia marah pada orang di hadapannya saat ini. Naren melihat apa yang telah Dion lakukan pada Rania.

"Lo apa-apaan sih, Ren? Lepasin gak?"

Akhirnya Naren melepaskan tangannya namun ia segera menarik tangan Dion untuk pergi dari sana. Sedangkan Dion, dia hanya pasrah. Terserah Naren akan membawanya ke mana.

Mereka berakhir di taman rumah sakit yang saat itu tengah sepi, hal ini menjadi kesempatan Naren untuk meluapkan rasa marahnya pada Dion.

Bugh!

Satu tinjuan mengenai rahang Dion. Naren tak tanggung -tanggung, ia mengerahkan hampir seluruh tenaganya hingga terlihat sobekan di sudut binir Dion.

"Lo kenapa sih, Ren? Apa salah gue?!"

"Ngapain lo cium pacar gue?" ucap Naren, namun ia melupakan sesuatu.

Dion terkekeh mendengar hal itu. Pacar katanya? "Lo lupa kalau kalian udah putus? Lagi pula gue udah biasa lakuin hal itu pas Rania sakit. Lo gak tahu ya? Dari dulu Rania suka kalau ada yang cium pucuk kepalanya saat sakit," ujar Dion.

Tangan Naren yang tadinya mengepal perlahan melemas. Benar, ia dan Rania sudah putus. Lalu untuk apa ia marah dan melakukan hal ini?

"Semua ini bikin gue prustasi!"

Dion menepuk pundak Naren selama dua kali. "Gue bersyukur lo udah putus sama Rania. Dia gak pantes dapetin cowok berengsek kaya lo-"

Bugh!

Kali ini Dion yang melayangkan pukulan pada Naren.

"Lo itu gak berguna jadi pacar dia. Udah janji nemenin dia makan sama calon ibu barunya tapi lo malah asik pelukan sama cewek lain."

Bugh!

"Ini hukuman buat lo yang udah bikin Rania nangis."

Bugh!

"Ini buat lo yang udah bikin Rania makin dijauhi sama orang-orang."

Tatapan Dion benar-benar mengitimindasi. Jika sudah marah, ia tak kenal ampun. "Argh! Kenapa Rania mau sama orang kaya lo?! Sedangkan gue yang selalu ada untuk dia cuma dianggap temen!"

Naren mengusap hidungnya yang berdarah. Ia cukup terkejut dengan teriakan Dion, Naren bisa menangkap bahwa laki-laki yang menjabat sebagai ketua osis itu juga suka pada Rania.

Dion mendekat lalu berkata, "Asal lo tahu, Ren. Rania sakit! Rania mengidap leukemia gara-gara lo!"

Bugh!

Dion meninju Naren hingga tersungkur. Setelahnya ia pergi dengan nafas yang masih memburu.













Aku up nih!
Naren ini kadang plin-plan ya gaes.

Setelah Badai RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang