26. Penjelasan untuk Naira

12 2 1
                                    

Sepanjang jam pelajaran berlangsung, Atha sama sekali tidak fokus. Itu disebabkan oleh ucapan Dion pagi tadi.

Atha melirik sedikit Rio yang berada di belakangnya lalu kembali beralih pada bangku kosong di depannya, seharusnya itu tempat Naren tapi laki-laki itu tidak masuk hari ini.

Setelah bel pulang berbunyi, Atha segera meraih ranselnya lalu pergi. Ia masih kesal pada Rio. Atha tau, jika ucapan Rio tempo lalu adalah sebuah kebohongan. Maka dari itu, ia akan menjenguk Rania sebelum pulang.

Atha tidak punya pilihan lain selain ikut mencampuri masalah percintaan dua temannya.

"Di mana alamat rumah sakitnya?" tanya Atha, ia telah menghadang Dion hanya untuk ini.

"Lo yakin, Ri? Bukannya lo gak mau ngurusin masalah mereka?"

Atha mendengus kesal. "Lo bisa gak sih gak usah bertele-tele. Bukannya ini yang lo mau? Gue muak lama-lama liat persahabatan gue hancur!"

"Udah gue share lokasinya. Lo pergi sendiri, gue masih ada urusan," ujar Dion.

"Gue juga gak butuh ditemenin sama lo." Setelahnya Atha segera pergi ke rumah sakit yang telah Dion berikan lokasinya.

🥀

"Kamu kualat sama Bunda."

Kalimat itu terus terngiang di kepala Naren. Ia berada di rumah sakit sekarang, setelah kejadian terpeleset kemarin ia dilarikan ke rumah sakit.

Naren masih kesal pada ayahnya sendiri, bukannya mengasihani malah memarahinya. Tapi Naren pikir ada benarnya juga, ia seperti ini setelah membuat ibunya kesal.

"Bun, maafin Naren soal yang kemarin, ya?"

Naira yang tengah menyuapi Naren itu tersenyum hangat. "Iya, tapi jangan kaya gitu lagi. Bunda gak marah kok, cuma kesel aja."

"Makasih, Bun."

"Sekarang abisin dulu makannya, nanti ceritain sama Bunda kenapa kamu bisa dapetin luka ini."

Naren mengangguk, ia segera menghabiskan makanannya. Ia akan menceritakan semuanya, luka-luka yang ia dapat dan tentang hubungannya dengan Rania.

Naira kembali tersenyum saat melihat Naren minum hingga tandas, anaknya itu baru selesai makan.

"Naren mau cerita, Bun."

"Pelan-pelan ceritanya biar Bunda gak salah paham," ucap Naira.

"Luka yang Naren dapetin kemarin bukan karena tauran kok, Bun. Naren tau Bunda khawatir hal itu, kan?"

"Terus dapetin luka itu dari mana? Kamu gak bikin masalah kan di sekolah? Biarpun itu sekolah punya ayah, kamu gak boleh semena-mena."

Naren menggeleng. "Bukan kok, Bun. Kalau iya dari sekolah, pasti Bunda udah dapetin laporannya."

Benar, Naira akan mendapatkan informasi jika anak semata wayangnya itu melakukan hal yang berlawanan dengan peraturan.

"Ini semua ulah Dion, Bun," ujar Naren.

"Dion? Ketua osis itu? Apa yang kalian ributin?"

Naren terdiam, ia sudah merencanakan dari mana ia akan menjelaskan, tapi entah mengapa ia masih saja merasa bingung.

"Naren udah putus sama Rania, Bun."

Naira mengerutkan keningnya. "Putus? Kenapa? Tunggu, anak Bunda ini gak lagi ngalihin pembicaraan, kan?"

"Nggak kok, Bun. Itu ada kaitannya sama Dion. Ceritanya ribet, Bun. Naren bingung mau ceritain dari mana," ucap Naren tertunduk.

Naira mengusap punggung Naren, ia tidak tahu nenahu tentang kehidupan anaknya akhir-akhir ini. "Bisa ceritain alesan kalian putus? Bukan Bunda mau ikut campur, tapi kamu dan Rania itu anak Bunda. Bunda gak mau anak-anak Bunda gak akur."

"Ini semua karena kesalahan Naren, Bun."

"Ceritain dulu, ya?"

"Awalnya Naren gak tahu alesannya, Bun. Rania tiba-tiba ketus terus putusin Naren. Di situ Naren gak mau, Bun. Tapi gak lama foto Rania sama Rio kesebar, mereka lagi duduk berdua di taman. Karena Naren saat itu marah, Naren setuju buat putus dari Rania. Bukan karena foto doang sih, Bun. Rio juga ngaku kalau dia ada hubungan lebih dari temen sama Rania. Sebenernya Naren malu ceritain ini ke Bunda."

"Kenapa harus malu? Bunda juga pernah muda kok. Kalau kaya gitu ceritanya, bukan kamu yang salah. Bunda nggak nyangka Rania sama Rio bisa kaya gitu, apalagi Rio temen deket kamu."

Naren menggeleng. "Itu cerita cuma dari satu sisi, Bun. Dion bikin Naren kaya gini karena dia marah sama Naren, Bun. Dia bilang kalau semua ini berawal dari Naren. Naren juga sadar ini semua salah Naren. Waktu itu Naren pernah janji buat nemenin Rania makan malem sama calon istri papahnya, tapi Naren saat itu malah nemenin Kanaya, Bun. Bunda masih inget kan sama Kanaya? Naren pernah suka sama Kanaya, tapi Kanaya gak suka sama Naren. Pas Naren nemenin Kanaya kemarin dia bilang kalau dia suka sama Naren, tapi Naren udah gak ada rasa apapun sama dia. Di situ, Kanaya minta Naren peluk dia untuk terakhir kalinya, katanya setelah itu dia bakal berusaha hilangin perasaan dia buat Naren. Bunda tahu? Ternyata itu alesan Rania ketus dan putusin Naren," jelasnya.

Naira menutup mulutnya, cerita anaknya ini sangat rumit tapi ia mengerti permasalahannya di sini.

"Ini semua berarti cuma salah paham.  Bunda yakin Rania nggak ada hubungan lebih sama Rio. Bukannya Bunda mau berpihak sama satu orang di sini. Tapi coba kamu bicarain ini sama Rania. Bunda gak mau dua anak Bunda musuhan kaya gini, walaupun nantinya kalian gak balikan se-enggaknya kalian gak musuhan."

"Naren maunya balikan, Bun."

Naira tersenyum. "Makanya bicarain baik-baik sama Rania. Kamu tahu? Kunci dari sebuah hubungan adalah komunikasi. Apa Bunda suruh Rania aja ke sini?"

"Gak perlu, Bun. Rania juga ada di rumah sakit ini."












Enaknya, Naren Rania dibikin balikan apa mantanan aja?

Author punya cerita baru nih, tenang aja yang ini bakal terus lanjut kok.

Judulnya "Life Is Not A Game" jangan lupa baca ya!

Setelah Badai RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang